Catatan

image

Tentang

Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. Petra adalah batu dan ichor artinya darah para dewa. Karena alasan itu-lah, blog ini bernama "Petrichor".

"Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.


Pendidikan
Unika Soegijapranata

Magister Lingkungan dan Perkotaan

Universitas Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum


Pekerjaan
2013 - sekarang, Perkumpulan HuMa Indonesia

Analisa Hukum dan Data

2008 - 2012, LBH Semarang

Pengabdi Bantuan Hukum


Keahlian
Analisa Hukum
Fasilitator
Pendaki Gunung
Blog

Pulang


Anaphalis javanica di Alun-alun Suryakencana ternyata kembang dengan malu-malu bulan ini. Dalam rumpunnya hanya beberapa yang mekar. Sisanya mungkin luruh ke tanah Suryakencana. Aku sadar, ini bukan lembah kasih, tapi ia tetap mampu menciptakan getar puitis di dalam hati.

Suryakencana selalu mengantarkan nuansa syahdu kepada para pelintas. Ia sekaligus jeda, sebelum tubuh dipaksa bekerja kembali selama satu jam kedepan untuk menjejak puncak Gede.

Betapa menderitanya tubuh pelintas yang harus menyusuri jalur ini. Pada titik ini kaki seperti hantu. Berjalan sendiri. Lepas dari pikiran yang mengembara kemana-mana. Satu keinginan yang selalu terbersit, cepat-lah berakhir ayuanan langkah ini.


Dan ketika ayunan langkah ini berakhir di Puncak Gede, matahari telah meninggi. Desau angin bersiul di antara pokok-pokok Cantigi. Seketika rindu-pun luruh menebar. Tak ada keindahan dan situasi yang paling mendebarkan ketika rindu menggulung waktu. Saatnya pulang.

Pulang, ya pulang! Bagi sebagian orang kata pulang kadang membawa beban: waktu telah habis. Tapi tidak bagi para pelintas, bagiku. Di titik itu waktu ingin dihentikan. Agar tak ada lagi perjalanan, menyisir jalan, memintas kota demi kota, menjelajahi hutan dan gunung.

Pulang adalah impian. Impian yang akan mewujud ketika waktu terajut di ranjang jengki rumah kita. Terasa cinta mengalir pada secangkir teh tubruk melati, ketika si kecil merayap mengejar crawl ball dan ibunya menjaganya agar tidak jatuh di sisi ranjang.

Pada akhirnya, keluarga adalah oase, pelepas dahaga musafir yang tak tertanggungkan. Pulang adalah anugrah [.]

List Perlengkapan



Berikut ini adalah daftar peralatan, ketika melakukan perjalanan alam bebas. Tentu saja akan ada penyesuaian tergantung kondisi alam dan estimasi waktu perjalanan. 

Navigasi. Kompas silva, Zip lock bag berisi: copy peta kontur, Lenovo K900 dengan aplikasi Maverick; 

Tas. Eiger Carrier Backpack 35L 1163 Wanderlust warna biru, Berhaus Men's Freeflow® 30 Rucksack warna merah

Dry Bag. Trash bag, Deuter Light Drypack 25 warna oranye; 

Tenda. Merapi Mountain Moonlight 1, flysheet warna hijau lime, alumunium pole warna hijau lime, Merapi Mountain footprint warna abu-abu; 

Alas tidur. Matras Cozmeed warna hitam, matras alumunium; 

Kantong tidur. SB polar Cozmeed warna hitam, Deuter Dreamlite 500 Regular warna hitam kombinasi abu-abu; 

Memasak dan makan. Korek api gas tokai, Trangia 27-6 UL warna abu-abu dan hitam, Trangia Fuel 0,5 ltr warna merah, Sea to summit x bowl warna hijau, gelas aluminium, Sea to summit delta insulmag warna abu-abu, sendok dan sumpit kayu; 

Penyimpanan air. Jerigen lipat 5 liter, Hydration Bladder Eiger 2 liter; 

Pisau. T Kardin TK 96 Knive warna gagang coklat tua, Trampotina 24" (hanya jika perlu menebas); 

Survival Kit. Zip lock bag berisi: emergency blanket, tali paracod 100 m, korek api cadangan, cermin kecil tidak ada merk, All Weather Wind Storm Whistle; 

Senter. Petzl Tikka Plus E47; 

Trekking pole's. Black Diamond distance FL warna silver; 

P3K. Zip lock bag berisi: obat merah, minyak gandapura, obat flu, norit, vitamin B komplek dan C;

Sanitasi. Deuter Wash Bag Zip lock bag berisi: sikat gigi, pasta gigi, pelembab, sabun dan shampo bekas hotel yang diisi ulang, cotton bud, gunting kuku, tissu gulung dan basah, Kanebo; 

Pakaian.
  • Raincoat. Cozmed Rc czmd R2421 atau jas hujan plastik (biasa dipakai oleh tukang becak);
  • Outer. -
  • Mid Layer. Kemeja flanel Uniqlo warna merah, Down Uniqlo warna hitam;
  • Base Layer. Berghaus Vapour Base Zip LS-AM warna merah;
  • Celana. Celana pendek kargo Uniqlo atau celana panjang kargo Alpina warna coklat krem;
  • Buff/syal. Berghaus warna merah dan syal HMPA Yudhistira warna hitam;
  • Penutup kepala. Topi Eiger warna hitam;
  • Alas kaki. Caterpillar safety boots warna hitam, Eiger S152 LI sandal jepit Swallow;




________________
Disclaimer:
  • Selalu berusaha membawa perlengkapan dan logistik seefisien mungkin.
  • Bukan posting berbayar. Merk dan/atau trademark yang ditulis diatas bukan promosi.
  • Peralatan yang disebut diatas dibeli menggunakan uang pribadi atau pemberian dari teman-teman. 

Cabut-lah kakiku!


"Sepi yang kurasakan."

Aku merasakan kesepian angin malam. Namun, aku masih berdiri tegak. Dan harus tetap berdiri sepanjang malam. Dihantam hawa dingin dan kepiluan. Semua itu hanya bisa kusimpan sendiri. Sendiri di tengah bentangan ladang subur.

Aku ingin berbicara dengan palawija-palawija yang tumbuh di ladang ini. Namun pokok-pokok palawija itu enggan menyapaku. Mereka tidak pernah membalas panggilanku. Bahkan, burung-burung malam yang berkeciap di langit-pun enggan berbicara atau sekadar hinggap di atas tubuhku. Aku terasing sendiri.

Pun saat matahari berkuasa. Aku tetap berdiri dengan kepiluan yang sama. Bahkan lebih. Kesepian itu meyatu bersama tatap mata penuh kebencian dari para petani yang mengolah tanah di sekitarku.

Ya, aku menyadari konsekuensi kelahiranku. Ingin kuceritakan  mula kelahiranku yang terkutuk ini. Agar pokok-pokok palawija, binatang-binatang malam dan para petani bisa memahami siapa yang melahirkan aku. Lebih dari itu, aku ingin mereka melenyapkanku! Mencabut kakiku dari tanah ini.
 
***

Awal mulanya adalah pada masa pendudukan Belanda. Adalah NV Rotterdamsche Culture Maschapij dan NV Maatschapij Satrian - berkedudukan di Roterdam dan Amstedam, yang mengklaim tanah ini. Seturut waktu, Ia berganti menjadi NV Sekecer pada 3 Juli 1956. Geger 65, 30 orang dari pemegang saham NV Sekecer dituduh terlibat pembunuhan para jenderal di ibu kota.

Ia kemudian menjadi PT Sumur Pitu. Sekira tahun 1972, dengan pembagian hasil dengan PT. Sumur Pitu, tanah ini telah dikelola dan ditanami tanaman musiman oleh warga.

Sekira 175 km dari tanah ini, PT Semen Indonesia sedang membangun pabrik semen di Desa Tegaldowo, Kabupaten Rembang. Mereka seolah tidak peduli, walau Kartini-kartini Rembang sudah ratusan hari menduduki rencana tapak pabrik. Rencana tapak pabrik itu berada di kawasan hutan.

PT Semen Indonesia merencanakan tukar guling berada dengan tanah ini. Tanah di desa surokonto wetan, kecamatan pageruyung, kabupaten kendal dengan luas + 125,53 ha.

Petani harus diusir! 26 orang petani dilaporkan ke Polres kendal. Deretan Pasal 94 jo 19 Undang-Undang nomor 18 tahun 2013  tentang pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan menjadi penjerat.

Pada 29 Maret 2016, sekitar pukul 10.00 Wib sekitar 100 personil brimob dari Polres Kendal datang dan membuat satu tenda di lapangan Voley desa Surokonto Wetan. Mereka  juga membuat dua tenda di lokasi penanaman pohon dan memasangku.


Aku adalah plang bertuliskan: “KAWASAN HUTAN sesuai keputusan menteri kehutanan republik indonesia no sk 5k.643/menhut-II/2013 dan nomor : SK.3021/menhut VII/KUH/2015)”
***

"Aku ingin mereka melenyapkanku! Cabut-lah kakiku dari tanah ini" [.]




Merauke, MIFEE dan Malaria


Akhirnya, pesawat Garuda Indonesia mengudara di atas langit Cengkareng. Langit tengah malam itu sedikit gerimis, namun setelah pesawat mencapai ketinggian cruising-nya keadaan berubah menjadi cerah. Beberapa awan cirrocumulus yang tersebar di beberapa tempat.

Pesawat tujuan Merauke ini transit dua kali, di Makassar dan  Jayapura. Dua kali pula Aku dan seorang kawan meninggalkan pesawat sekedar untuk meluruskan kaki dan menikmati secangkir kopi panas. Berangkat dari Jakarta pukul 23.50 WIB, pesawat ini tiba keesokan harinya di Merauke pada pukul 9.20 Wita.

Menjelang turun, pesawat melayang di atas Sungai Maro. Dari ketingian, Merauke tampak rata. Sejenak kemudian pesawat menjejakkan rodanya di landasan. Pendaratan yang mulus. Ketika pesawat bergerak menuju apron, perasaanku bercampur aduk. Akhirnya sampai di Papua!

***

“Bung, mau ikut aku ke Merauke?”

“Di Merauke saja? Main-main ke pedalaman ga?”

“Iya di Merauke saja.”

“Ok.,
jawabku tanpa berpikir panjang.

***

Adalah seorang kawan yang mengajakku ke Merauke untuk sebuah urusan. Kantor tempat kawanku bekerja sedang melakukan sebuah riset di daerah tersebut.  Riset ingin melihat sebuah “terobosan” dari Jakarta, menjadikan Merauke lumbung pangan nasional.

Program ini awalnya digagas Johannes Gluba Gebze, Bupati Merauke saat itu. Niat dia, membangkitkan ekonomi masyarakat. Walau pengelolaan diserahkan ke swasta, tapi dikembangkan dengan model perkebunan. Basisnya pada beras, sagu, jagung, kedelai dan tebu, dengan skema Merauke Integrated Rice Estate (MIRE).

Usulan John disambut baik Jakarta, kran investasi dibuka. Tapi yang datang jutru banyak pemain sawit, investasi di bidang pangan kurang peminat. Untuk menampungnya, pada 2010 MIRE berubah menjadi Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Sawit masuk di dalamnya, sebagai sumber energi.

Aku-pun mulai melakukan penelusuran di Internet. Beragam jurnal kuunduh. Sesekali Aku juga membuka beberapa laman perjalanan. Beberapa laman itu bercerita tentang ganasnya nyamuk Anopheles di pedalamana Merauke.

Aku-pun mengirim pesan pendek: “Kita cuma di Kota Merauke kan?”

“Iya.” Sebuah balasan pesan pendek masuk ponselku.

Jadi, kita ga perlu minum pil kina?”

Ga usah-lah, lagian percuma, kan kita berangkat besok”


Dan itu adalah sebuah kesalahan.


***

Ini gila!”, teriakku.

Kawanku yang sedang menikmati kopinya kemudian menghampiriku.

Lihat deh data-data ini. Sampai dengan 2011, tercatat tidak kurang dari 40 perusahaan telah mendapat ijin lokasi dan ijin operasional dalam proyek MIFEE."

"Ia merampas tanah suku Marind-anim. Meskipun baru beberapa saja di antaranya yang telah beroperasi di lapangan, namun dampaknya telah muncul."

"Sebagai contoh, PT Selaras Inti Semesta, anak perusahaan kelompok Medco, di Zanegi dan Kaliki telah menghabiskan hutan di areal lebih dari 20.000 ha. Dampak yang paling mudah diindetifikasi adalah hilangnya tanaman sagu yang menjadi sumber pangan suku Marind-anim, yang masih meramu dan berburu (hunting and gathering). Keadaan tidak jauh berbeda dengan situasi di Onggari dan Domande. Di sana, PT Rajawali mengembangkan perkebunan tebu. Selain itu, pemukulan dan kekerasan terjadi terhadap masyarakat, perusahaan menggunakan aparat militer dan polisi untuk merepresi dan mengintimidasi masyarakat di kampung-kampung”, terangku.

"Kita harus ke lapangan untuk mendalami ini."

Kami-pun menyewa motor, menghubungi beberapa kontak untuk guide. Beberapa hari kami menjelajahi pedalaman Merauke. Terutama daerah Orang Marind.


Daerah orang Marind adalah daerah dataran rendah di tepi pantai yang terdiri dari bukit-bukit pasir. Pohon-pohon kelapa banyak tumbuh diatas bukit pasir itu. Di belakang bukit pasir terbentang daerah rawa-rawa dan pohon bakau. Di sana letak hutan-hutan sagu dan daerah perladangan dari penduduk. Semakin ke dalam, mulai muncul daerah sabana yang diselingi rawa-rawa.

Interaksi kami dengan penduduk semakin menyakinkan kami telah terjadi perampasan tanah di Merauke. Perusahaan-perusahaan yang menerima ijin lokasi dari pemerintah daerah untuk beroperasi, berhadapan langsung dengan marga-marga dalam suku Marind-anim, termasuk mengadakan negosiasi dan perjanjian pemakaian atau penyerahan tanah. Suku Marind-anim kemudian melakukan negosiasi dan perjanjian tanpa mendapat informasi yang cukup. Ia merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC).


***

Siang itu di sebuah dipan. Badanku terasa panas. Kawanku merasakan hal yang sama. Kami sepakat untuk ke rumah sakit. Vonis dokter: Malaria [.]



Jalan Panjang Kajang




Aku terjaga dari tidur. Perjalanan udara dari Jakarta – Makassar, berlanjut perjalanan darat ini membutku lelah. Jalanan gelap. Roda-roda kendaraan berputar melewati kota Bulukumba menuju daerah Tanete dengan kontur perjalanan berkelok dan naik turun.

Kemudian roda menikung menuju kawasan perkebunan karet. Entah desa apa namanya. Sepertinya kami memasuki daerah perkebunan Lonsum. Untuk memastikan, aku bertanya kepada kawan perjalanan aku.

“Kita di mana?”

Sudah masuk perkebunan Lonsum”, katanya.

Ah... Perkebunan karet. Pastilah mempunyai sejarah panjang.”, batinku.

***
Matahari belum meninggi ketika kami bersiap memasuki  wilayah Masyarakat Hukum Adat Kajang di Kabupaten Bulukumba.  Masyarakat Kajang merupakan salah satu komunitas adat di Kabupaten ini. Menurut kisah yang dituturkan oleh Amatoa dan sejumlah tokoh adat, sejak dahulu kala masyarakat Kajang hidup di wilayah Bulukumba dalam persekutuan sosial. Mereka menyebar di dalam “Sulapa Appa”.

Sulapa appa”,  adalah segi empat batas wilayah, yang melintasi  Batu nilamung, Batu Kincing, Tana Illi, Tukasi, Batu Lapisi, Bukia, Pallangisang, Tanuntung, Pulau Sembilan, Laha Laha, Tallu Limpoa dan Rarang Ejayya.

Batas-batas wilayah adat Kajang tersebut berada di tiga wilayah administratif pemerintahan  kecamatan, yaitu kecamatan Kajang (desa Tana Toa, desa Kajang kassi, dan desa Bonto Biraeng), kecamatan Bulukumpa (desa Jo’jolo dan desa Bonto Mangiring), dan kecamatan Ujung Loe (Desa Tammato).

Masyarakat Kajang memiliki sistem kepercayaan yang dilaksanakan secara turun temurun hingga sekarang. Sistem kepercayaan tersebut meliputi kepercayaan kepada adanya Tuhan (Tau Rie A’ra’na), kepercayaan kepada Pasang ri Kajang, kepercayaan kepada allo riboko (hari kemudian), dan kepercayaan kepada nasib.

Berdasarkan sistem kepercayaan itu-lah wilayah adat Kajang dikelola dan didayagunakan untuk kehidupan lintas generasi. Termasuk dalam menjaga hutannya.

Hanya ada satu cara mencapai wilayah ilalang embayya (dalam pagar) dari ipantarang embayya (luar pagar). Berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki. Aku mulai melangkahkan kaki sembari melihat deretan pohon-pohon besar, bernafas sedalam-dalamnya demi mendapatkan udara segar.

Waktu tempuh untuk sampai ke ilalang embayya, tidak lama. Memasuki ilalang embayya, kami melewati lorong panjang yang di kiri-kanannya berjejal batu-batu berlumut dan pepohonan bambu. Seolah-olah, kami sedang menerobos lorong menuju masa silam. Ada nuansa klasik yang tak bisa ditawar-tawar.

Ya, bagiku, tidak ada jalan lain menikmati Kajang, selain menghayati dalam-dalam nuansa klasik dan kuno yang mereka tawarkan.

Bisa jadi, romantisme seperti itulah yang menarikku untuk datang jauh-jauh dari Jakarta. Padahal, bagi masyarakat Kajang, hari itu adalah hari yang penting, hari itu sebuah tim dari kementrian sedang melakukan verifikasi. Verifikasi atas permohonan masyarakat Kajang untuk pengakuan hutan adatnya.

***

Menjadi penyaksi proses pengakuan hutan adat masyarakat hukum adat Kajang persis seperti melewati lorong dengan tembok-tembok batu kusam itu. Bedanya, kita tidak tahu seberapa panjang lorong itu dan ke mana ia berujung [.]


Santap Siang di Rumah Blandong Randublatung


Moggo kopi leletnya.”

Matur nuwun, Bu.” Aku mengucapkan terimakasih seraya menyalakan sebatang kretek.

Sembari meminumnya, Aku-pun mengajak Ibu itu berbincang. Sekedar mencairkan suasana

Randublatung masih jauh, Bu?

Wah, masih jauh Mas. Satu jam lagi kalau naik motor. Tapi kalau sudah malam seperti ini, tidak ada kendaraan lagi. Mas mau ke sana?

Iya Bu. Wah, kalau sudah tidak ada kendaraan, lalu bagaimana baiknya ya?

Mas tidur saja di Masjid itu, besok pagi baru cari kendaraan ke Randublatung.

Terimakasih Bu.”

Dan Aku-pun menghisap kretek semakin dalam.

***

Randubatung -desa yang menjadi tujuanku- merupakan daerah berkapur di Kabupaten Blora. Hutan-hutan jati mengelilingi penjuru wilayahnya. Wilayah ini adalah bagian dari Pegunungan karst Kendeng Utara. Kawasan karst ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati (bagian selatan), Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro (bagian utara) dan Lamongan (bagian barat).

Sumber gambar: di sini

Dari segi struktur tanah, daerah ini didominasi tanah kapur yang terbentuk dari proses panjang pelapukan batuan gamping. Tepatnya, jenis tanah di daerah ini adalah mediteran, yaitu campuran dari proses pelapukan batuan gamping dan batuan sedimen. Warna tanah jenis ini adalah kemerahan sampai coklat. Meski tanah mediteran kurang subur untuk pertanian, namun jenis ini amat cocok untuk tanaman-tanaman tertentu seperti palawija, tembakau, jambu mete dan, termasuk juga: pohon jati!

Sumber gambar: di sini

Pohon jati -tectona grandis sp. dalam istilah latin- tumbuh dengan ideal pada tanah yang mengandung banyak kapur dan fosfor, memiliki kadar keasaman rendah (basa), dan tidak banyak tergenang air. Semua syarat itu ditemukan dengan baik di Randublatung. 

Pohon jati tumbuh subur di Randublatung. Kondisi itu membuat (hampir) seluruh fragmen kehidupan di Randublatung tidak lepas dari Pohon Jati.

***

Mba Nik akan memasak sayur lodeh pagi itu. Mba Nik memulainya dengan memarut cikalan kelapa tua. Aku dan anak Mba Nik yang paling kecil juga kebagian tugas. Tugas kami: membersihkan panci dan mususi beras di belik pinggir sungai.

“Nang, tadi bapak berangkat jam berapa?” tanyaku di belik.

“Selepas sholat subuh Mas. Mas tadi masih tidur.”

“Bapak kemana?”

“Mblandong Mas. Mencari rencek kayu jati untuk masak.”

“Mblandong?”
batinku.

***

Masyarakat Blora memanfaatkan hutan secara leluasa dan berpindah-pindah sebelum kedatangan VOC di Jawa. Mereka dikenal sebagai orang Kalang yang keahliannya adalah menebang kayu. Masuknya VOC mulai membatasi akses orang-orang Kalang untuk memanfaatkan hutan. VOC ingin merebut penguasaan atas kayu hutan yang ada di Jawa -terutama jati- untuk membangun kapal-kapal perang dan angkutan hasil bumi ke Eropa.

VOC mempekerjakan orang Kalang sebagai buruh penebang kayu dengan upah rendah. Buruh penebang kayu dengan upah rendah disebut dengan blandong.


Namun, istilah blandong sudah mengalami perubahan. Dari makna “buruh penebang kayu” saat masa VOC menjadi “pencuri kayu” saat ini.

Sumber gambar: di sini

Makna blandong berubah, namun pola pengelolaan hutan jati masih dipertahankan dari masa VOC ke masa kini. Saat ini, hutan jati dikelola oleh Perhutani. Kawasan hutan jati yang dikelola oleh Perhutani seluas 49.118% wilayah Kabupaten Blora.

***

Tidak ada yang bisa aku lakukan ketika Mba Nik mulai menyalakan rencek di pawon memasak. Dapur adalah wilayah kekuasaannya. Aku-pun memutuskan untuk beranjak menemani dengan Mas Lik –suami Mba Nik– yang sudah pulang dari hutan. Belum sempat Aku menyapa, Mas Lik berucap.

Mas, orang kota enak ya?

Aku kaget mendengarnya. “Kenapa Mas?

Iya, kerjanya enak. Ndak khawatir ditembak."


"Mas tau? Tahun 1998, Perhutani nembak dua orang warga yang ngerencek di hutan. 

"Mereka dituduh Perhutani sebagai pencuri."
 

Siapa Mas?”, tanyaku.

Teman Saya Mas Darsit dan Rebo. Ndak cuma tahun itu, tahun 2000 Djani mati ditembak Polisi Hutan yang sedang melakukan operasi pengamanan hutan."


"Padahal Djani ndak nyuri kayu. Kesalahan dia, dia pergi ke sawah membawa cangkul.

Mas, makanan sudah siap!” teriak Mba Nik dari dapur, memotong obrolan kami.

***

Nasi panas sudah tersaji di wakul bambu yang sudah diberi alas daun jati. Nasi itu memiliki rasa dan aroma yang lebih nikmat karena dituangkan panas-panas di atas daun jati. Sayur lodeh tersaji di rantang blirik. Sambel trasi menjadi teman nasi dan sayur lodeh itu. 

Seluruh masakan yang kami santap siang hari itu dimasak dengan menggunakan rencek dari hutan. Rencek yang menurut Pehutani dicuri dari hutan jati oleh blandong Randublatung [.]

Kontak
Erwin
By Request
Nusantara