Gara-gara Kopi Cap Kupu-kupu
Sumber gambar di sini
“Kang, Aku baru naik commuter line. Agak telat.” pesan singkatku kepada Eman Sulaiman yang kerap dipanggil Kang Emon.
Sepuluh menit kemudian, pesan itu
berbalas.
“Santai aja Kang. Kami tunggu di Sempur ya.”
Commuter line jurusan Bogor beranjak dari
Stasiun Pasar Minggu. Setibanya di Stasiun Bogor, Aku bergegas ke bilangan Sempur untuk
menemui Kang Emon. Singgah sebentar, lalu kami
pergi lagi.
Dari Bogor, kami akan menggunakan kendaraan umum. Hari itu, Aku akan ke Kabupaten Lebak. Tepatnya ke Desa Jagaraksa. Letak Desa Jagakarsa relatif jauh. Sekitar 35 km dari pusat pemerintahan
Kabupaten Lebak di Rangkasbitung. Di desa itu ada masyarakat hukum
adat. Kasepuhan Karang.
***
Kasepuhan Karang berasal dari turunan bongbang. Bongbang adalah pasukan kerajaan yang bertugas membuka atau membuat bobojong (proses cikal-bakal terbentuknya kampung). Sebab itu, Kampung Karang disebut juga Bobojong Bongbang.
Pengikut kasepuhan disebut incu putu. Incu putu
di Kasepuhan Karang hingga tahun 2013 sebanyak 450 orang. Jumlah ini berdasarkan ritual seren taun. Di seren tahun,
incu putu wajib
untuk balik taun. Balik taun adalah proses incu putu mengembalikan jati diri dalam
menjalani hidup dan kehidupan. Dalam istilah kasepuhan disebut hurip jeung hirup.
***
“Kang, bangun. Kita turun di sini.” ucap Kang Emon, sembari mengguncang bahuku.
“Sudah sampai Kang?” kataku sembari memulihkan
kesadaran.
“Kita belanja gula dan garam dulu. Buat yang punya hajat.”
“Ga sekalian kopi dan teh?” kataku.
“Kalau kopi mah ga perlu. Di sini ga jual kopi cap kupu-kupu.
Orang Lebak sukanya kopi cap kupu-kupu.”
Malam itu kami langsung menuju tempat
hajatan. Kardus berisi gula dan garam beralih tangan. Tak lama, kami diajak Jarwo Wahid ke
rumahnya. Kantuk menyerang. Aku pamit untuk tidur. Sementara Kang Emon
melanjutkan obrolan malam dengan Jarwo Wahid.
***
Pagi itu, segelas kopi cap kupu-kupu tersaji. Masih panas dan mengepulkan asap. Sebagai penggemar kopi, Aku tidak akan melewatkan kesempatan menikmatinya. Kopi cap ini melegenda di seantero Lebak. Mungkin sama dengan kopi cap Liong yang melegenda di Bogor. Aku sudah membayangkan nikmatnya sruputan pertama. Namun …
“Masyarakat
adat mah menuntut supaya lahan-lahan garapan masyarakat dikeluarkan
dari kawasan hutan negara, yang dalam hal ini kawasan TNGHS.”, tiba-tiba
Jarwo Wahid membuka percakapan.
(Beuuuh,
kopi belum di-sruput, sudah diajak
ngobrol serius.)
“Lamun
teu bisa dikaluarkeun, kami mah hayang diaku ku nagara we.” lanjutnya.
(Beuuuh,
mulai roaming)
Sementara, seorang perempuan
mengeluarkan cemilan. Sepiring besar pisang goreng. Masih mengepulkan asap.
“Harapan
ini mulai ada Kang. Ada Putusan
MK No. 35/PUU-X/2012. Hutan
Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hal ini menegaskan masyarakat
adat adalah subjek hukum. Sebagai pengelola hutan adat dan penyandang hak yang
sah. Termasuk
masyarakat adat Kasepuhan Karang.” Jawab Kang Emon.
(Beuuuh,
mending makan pisang goreng dulu Kang! ceramahnya ntar aja)
“Bukan begitu Kang Erwin?” Sambung
Kang Emon.
Tergagap, mau tidak mau harus
menjawab.
“Dadi ngene sedulur, nek menurutku … ” dengan serius, Aku mencoba menjawab. Saking seriusnya, Aku lupa menggunakan Bahasa Jawa.
“Kang! Kita di Sunda bukan Jawa.” Kang Emon mengingatkan.
Suasana yang tadinya serius-pun menjadi pecah oleh tawa. Jarwo Wahid
sepertinya paham apa yang sedari tadi kupikirkan. Dia kemudian mempersilakan
kami meminum kopi dan mencicipi pisang goreng yang sudah tersaji.
Kopi cap kupu-kupu dan pisang goreng itu
tiba-tiba menjadi tidak menarik seleraku [.]
0 komentar:
Posting Komentar