Rabu, 10 Juni 2015

Gara-gara Kopi Cap Kupu-kupu

Sumber gambar di sini

Kang, Aku baru naik commuter line. Agak telat.” pesan singkatku kepada Eman Sulaiman yang kerap dipanggil Kang Emon.

Sepuluh menit kemudian, pesan itu berbalas.

“Santai aja Kang. Kami tunggu di Sempur ya.”

Commuter line jurusan Bogor beranjak dari Stasiun Pasar Minggu. Setibanya di Stasiun Bogor, Aku bergegas ke bilangan Sempur untuk menemui Kang Emon. Singgah sebentar, lalu kami pergi lagi.

Dari Bogor, kami akan menggunakan kendaraan umum. Hari itu, Aku akan ke Kabupaten Lebak. Tepatnya ke Desa Jagaraksa. Letak Desa Jagakarsa relatif jauh. Sekitar 35 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Lebak di Rangkasbitung. Di desa itu ada masyarakat hukum adat. Kasepuhan Karang.

***

Kasepuhan Karang berasal dari turunan bongbang. Bongbang adalah pasukan kerajaan yang bertugas membuka atau membuat bobojong (proses cikal-bakal terbentuknya kampung). Sebab itu, Kampung Karang disebut juga Bobojong Bongbang.

Pengikut kasepuhan disebut incu putu. Incu putu di Kasepuhan Karang hingga tahun 2013 sebanyak 450 orang. Jumlah ini berdasarkan ritual seren taun. Di seren tahun, incu putu wajib untuk balik taun. Balik taun adalah proses incu putu mengembalikan jati diri dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dalam istilah kasepuhan disebut hurip jeung hirup.


***

Kang, bangun. Kita turun di sini.” ucap Kang Emon, sembari mengguncang bahuku.

“Sudah sampai Kang?” kataku sembari memulihkan kesadaran.

“Kita belanja gula dan garam dulu. Buat yang punya hajat.”

“Ga sekalian kopi dan teh?” kataku.

“Kalau kopi mah ga perlu. Di sini ga jual kopi cap kupu-kupu. Orang Lebak sukanya kopi cap kupu-kupu.”

Malam itu kami langsung menuju tempat hajatan. Kardus berisi gula dan garam beralih tangan. Tak lama, kami diajak Jarwo Wahid ke rumahnya. Kantuk menyerang. Aku pamit untuk tidur. Sementara Kang Emon melanjutkan obrolan malam dengan Jarwo Wahid.

***

Pagi itu, segelas kopi cap kupu-kupu tersaji. Masih panas dan mengepulkan asap. Sebagai penggemar kopi, Aku tidak akan melewatkan kesempatan menikmatinya. Kopi cap ini melegenda di seantero Lebak. Mungkin sama dengan kopi cap Liong yang melegenda di Bogor. Aku sudah membayangkan nikmatnya sruputan pertama. Namun …

Masyarakat adat mah menuntut supaya lahan-lahan garapan masyarakat dikeluarkan dari kawasan hutan negara, yang dalam hal ini kawasan TNGHS., tiba-tiba Jarwo Wahid membuka percakapan.

(Beuuuh, kopi belum di-sruput, sudah diajak ngobrol serius.)

“Lamun teu bisa dikaluarkeun, kami mah hayang diaku ku nagara we.” lanjutnya.

(Beuuuh, mulai roaming)

Sementara, seorang perempuan mengeluarkan cemilan. Sepiring besar pisang goreng. Masih mengepulkan asap.

Harapan ini mulai ada Kang. Ada Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hal ini menegaskan masyarakat adat adalah subjek hukum. Sebagai pengelola hutan adat dan penyandang hak yang sah. Termasuk masyarakat adat Kasepuhan Karang.” Jawab Kang Emon.

(Beuuuh, mending makan pisang goreng dulu Kang! ceramahnya ntar aja)

“Bukan begitu Kang Erwin?” Sambung Kang Emon.

Tergagap, mau tidak mau harus menjawab.

“Dadi ngene sedulur, nek menurutku … ” dengan serius, Aku mencoba menjawab. Saking seriusnya, Aku lupa menggunakan Bahasa Jawa.

“Kang! Kita di Sunda bukan Jawa.” Kang Emon mengingatkan.

Suasana yang tadinya serius-pun menjadi pecah oleh tawa. Jarwo Wahid sepertinya paham apa yang sedari tadi kupikirkan. Dia kemudian mempersilakan kami meminum kopi dan mencicipi pisang goreng yang sudah tersaji.

Kopi cap kupu-kupu dan pisang goreng itu tiba-tiba menjadi tidak menarik seleraku [.]


Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. "Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Kontak
Erwin
By Request
Nusantara