Jalan Panjang Kajang
Aku terjaga dari tidur. Perjalanan udara dari Jakarta – Makassar, berlanjut perjalanan darat ini membutku lelah. Jalanan gelap. Roda-roda kendaraan berputar melewati kota Bulukumba menuju daerah Tanete dengan kontur perjalanan berkelok dan naik turun.
Kemudian roda menikung menuju kawasan perkebunan karet. Entah desa apa namanya. Sepertinya kami memasuki daerah perkebunan Lonsum. Untuk memastikan, aku bertanya kepada kawan perjalanan aku.
“Kita di mana?”
“Sudah masuk perkebunan Lonsum”, katanya.
“Ah... Perkebunan karet. Pastilah mempunyai sejarah panjang.”, batinku.
“Sulapa appa”, adalah segi empat batas wilayah, yang melintasi Batu nilamung, Batu Kincing, Tana Illi, Tukasi, Batu Lapisi, Bukia, Pallangisang, Tanuntung, Pulau Sembilan, Laha Laha, Tallu Limpoa dan Rarang Ejayya.
Batas-batas wilayah adat Kajang tersebut berada di tiga wilayah administratif pemerintahan kecamatan, yaitu kecamatan Kajang (desa Tana Toa, desa Kajang kassi, dan desa Bonto Biraeng), kecamatan Bulukumpa (desa Jo’jolo dan desa Bonto Mangiring), dan kecamatan Ujung Loe (Desa Tammato).
Masyarakat Kajang memiliki sistem kepercayaan yang dilaksanakan secara turun temurun hingga sekarang. Sistem kepercayaan tersebut meliputi kepercayaan kepada adanya Tuhan (Tau Rie A’ra’na), kepercayaan kepada Pasang ri Kajang, kepercayaan kepada allo riboko (hari kemudian), dan kepercayaan kepada nasib.
Berdasarkan sistem kepercayaan itu-lah wilayah adat Kajang dikelola dan didayagunakan untuk kehidupan lintas generasi. Termasuk dalam menjaga hutannya.
Hanya ada satu cara mencapai wilayah ilalang embayya (dalam pagar) dari ipantarang embayya (luar pagar). Berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki. Aku mulai melangkahkan kaki sembari melihat deretan pohon-pohon besar, bernafas sedalam-dalamnya demi mendapatkan udara segar.
Waktu tempuh untuk sampai ke ilalang embayya, tidak lama. Memasuki ilalang embayya, kami melewati lorong panjang yang di kiri-kanannya berjejal batu-batu berlumut dan pepohonan bambu. Seolah-olah, kami sedang menerobos lorong menuju masa silam. Ada nuansa klasik yang tak bisa ditawar-tawar.
Ya, bagiku, tidak ada jalan lain menikmati Kajang, selain menghayati dalam-dalam nuansa klasik dan kuno yang mereka tawarkan.
Bisa jadi, romantisme seperti itulah yang menarikku untuk datang jauh-jauh dari Jakarta. Padahal, bagi masyarakat Kajang, hari itu adalah hari yang penting, hari itu sebuah tim dari kementrian sedang melakukan verifikasi. Verifikasi atas permohonan masyarakat Kajang untuk pengakuan hutan adatnya.
Menjadi penyaksi proses pengakuan hutan adat masyarakat hukum adat Kajang persis seperti melewati lorong dengan tembok-tembok batu kusam itu. Bedanya, kita tidak tahu seberapa panjang lorong itu dan ke mana ia berujung [.]
Kemudian roda menikung menuju kawasan perkebunan karet. Entah desa apa namanya. Sepertinya kami memasuki daerah perkebunan Lonsum. Untuk memastikan, aku bertanya kepada kawan perjalanan aku.
“Kita di mana?”
“Sudah masuk perkebunan Lonsum”, katanya.
“Ah... Perkebunan karet. Pastilah mempunyai sejarah panjang.”, batinku.
***
Matahari belum meninggi ketika kami bersiap memasuki wilayah Masyarakat Hukum Adat Kajang di Kabupaten Bulukumba. Masyarakat Kajang merupakan salah satu komunitas adat di Kabupaten ini. Menurut kisah yang dituturkan oleh Amatoa dan sejumlah tokoh adat, sejak dahulu kala masyarakat Kajang hidup di wilayah Bulukumba dalam persekutuan sosial. Mereka menyebar di dalam “Sulapa Appa”.“Sulapa appa”, adalah segi empat batas wilayah, yang melintasi Batu nilamung, Batu Kincing, Tana Illi, Tukasi, Batu Lapisi, Bukia, Pallangisang, Tanuntung, Pulau Sembilan, Laha Laha, Tallu Limpoa dan Rarang Ejayya.
Batas-batas wilayah adat Kajang tersebut berada di tiga wilayah administratif pemerintahan kecamatan, yaitu kecamatan Kajang (desa Tana Toa, desa Kajang kassi, dan desa Bonto Biraeng), kecamatan Bulukumpa (desa Jo’jolo dan desa Bonto Mangiring), dan kecamatan Ujung Loe (Desa Tammato).
Masyarakat Kajang memiliki sistem kepercayaan yang dilaksanakan secara turun temurun hingga sekarang. Sistem kepercayaan tersebut meliputi kepercayaan kepada adanya Tuhan (Tau Rie A’ra’na), kepercayaan kepada Pasang ri Kajang, kepercayaan kepada allo riboko (hari kemudian), dan kepercayaan kepada nasib.
Berdasarkan sistem kepercayaan itu-lah wilayah adat Kajang dikelola dan didayagunakan untuk kehidupan lintas generasi. Termasuk dalam menjaga hutannya.
Hanya ada satu cara mencapai wilayah ilalang embayya (dalam pagar) dari ipantarang embayya (luar pagar). Berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki. Aku mulai melangkahkan kaki sembari melihat deretan pohon-pohon besar, bernafas sedalam-dalamnya demi mendapatkan udara segar.
Waktu tempuh untuk sampai ke ilalang embayya, tidak lama. Memasuki ilalang embayya, kami melewati lorong panjang yang di kiri-kanannya berjejal batu-batu berlumut dan pepohonan bambu. Seolah-olah, kami sedang menerobos lorong menuju masa silam. Ada nuansa klasik yang tak bisa ditawar-tawar.
Ya, bagiku, tidak ada jalan lain menikmati Kajang, selain menghayati dalam-dalam nuansa klasik dan kuno yang mereka tawarkan.
Bisa jadi, romantisme seperti itulah yang menarikku untuk datang jauh-jauh dari Jakarta. Padahal, bagi masyarakat Kajang, hari itu adalah hari yang penting, hari itu sebuah tim dari kementrian sedang melakukan verifikasi. Verifikasi atas permohonan masyarakat Kajang untuk pengakuan hutan adatnya.
***
Menjadi penyaksi proses pengakuan hutan adat masyarakat hukum adat Kajang persis seperti melewati lorong dengan tembok-tembok batu kusam itu. Bedanya, kita tidak tahu seberapa panjang lorong itu dan ke mana ia berujung [.]
0 komentar:
Posting Komentar