Catatan

image

Tentang

Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. Petra adalah batu dan ichor artinya darah para dewa. Karena alasan itu-lah, blog ini bernama "Petrichor".

"Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.


Pendidikan
Unika Soegijapranata

Magister Lingkungan dan Perkotaan

Universitas Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum


Pekerjaan
2013 - sekarang, Perkumpulan HuMa Indonesia

Analisa Hukum dan Data

2008 - 2012, LBH Semarang

Pengabdi Bantuan Hukum


Keahlian
Analisa Hukum
Fasilitator
Pendaki Gunung
Blog

Mengulas Pisau T Kardin Type TK 96




Pisau adalah teman untuk beraktifitas di alam bebas. Aku pernah menggunakan beberapa jenis dan merk pisau. Pisau-pisau yang dijual di toko peralatan mendaki gunung atau toko peralatan rumah tangga dengan kualitas yang kurang baik dan cepat rusak. Jika dikalkulasi, total dari pisau yang (akhirnya) rusak itu seharga satu pisau dengan kualitas baik.

Sejak itu, Aku mulai melakukan pencarian di internet mengenai pisau-pisau yang berkualitas baik, dengan harga yang masih masuk akal. Beberapa pisau langsung dicoret, karena harganya sudah tidak masuk akal.


Aku memilih menggunakan pisau buatan T. Kardin dengan tipe T 96. Bilah pisau ini adalah sepanjang 5 inch dengan bahan baja D2. Baja itu merupakan baja unggulan dengan kadar karbon tinggi dan khromium tinggi, kekerasan tinggi max 64 Hrc. Walaupun cukup tahan tapi masih belum bebas karat, tetapi bahan ini sangat digemari pemakai pisau karena kekerasannya tinggi sehingga ketajamannya awet dan mudah diasah bila tumpul. Komposisi Kimia adalah: C=1.55% ; Si=0.25% ; Mn=0.35% ; Cr=11.8% ; Mo=0.80% ; V=0.95%.

Sementara, gagang pisau ini terbuat dari kayu dengan panjang 3,5 inch. Berat total pisau ini adalah 200 Gr. Pisau ini dilengkapi sarung dengan kualitas yang baik. Sarung itu terbuat dari kulit.

Genggaman 


Gagang pisau yang terbuat dari kayu memberikan kesan sederhana. Aku mencoba menggengam pisau ini dengan berbagai cara. Dari berbagai cara menggenggam, pisau ini terasa nyaman. Rasanya pas sekali ditanganku yang kecil. Selain dari desain, bobot dari pisau ini juga memberikan keseimbangan yang baik. 

Memotong Kertas 


Pisau ini belum pernah untuk memotong dan diasah ulang sejak dibeli. Aku melakukan tes awal ketajaman dengan memotong kertas. Pisau ini bisa memotong kertas dengan cukup lancar, dibeberapa bagian kertas terlihat micro chiping.

Menyerut dan Mengupas Kayu


Selanjutnya Aku coba gunakan pisau untuk menyerut kayu. Konstruksi gagang pisau sangat nyaman untuk menyerut kayu. Setelah beberapa menit menyerat dan menyerut kayu, Aku tidak merasakan terasa pegal pada tangan. Menyerut dengan pisau ini terasa smooth. Aku sudah membayangkan menyerut kayu untuk dijadikan pematik api unggun.

Memotong kayu


Aku coba untuk memotong kayu dengan ukuran 5 x 1 cm. Aku memotong dengan teknik membuat tebasan melingkari kayu. Kurang lebih membutuhkan waktu 1,5 menit. Bobot pisau cukup berdampak memotong menjadi lebih mudah. Tidak membutuhkan banyak tenaga untuk mengayunkan pisau.

Membelah Kayu


Bilah pisau cukup mudah masuk ke dalam kayu ketika dihantam dari punggung pisau dengan kayu lain. Punggung pisau-pun tidak mengalami gompal/bengkok akibat benturan dari kayu.

Aku juga mencoba merenggankan belahan kayu dengan cara menarik dan mendorong pisau ke kanan dan kiri untuk melihat apakah pisau akan bengkok atau patah. Tidak ada tanda-tanda bengkok atau patah, kayunya justru semakin terbelah.

Dahulu untuk membelah kayu, ketika kayu sudah terbelah, Aku biasa menggunakan kayu lain dengan ukuran sebesar belahan lalu di pukul dari atas menggunakan kayu yang lain. Dengan pisau ini, Aku tidak ragu untuk langsung membelah kayu.

Melubangi Kayu 


Selanjutnya Aku coba untuk membuat lubang pada kayu. Caranya dengan meletakkan ujung pisau di atas kayu lalu diputar sambil ditekan. Bentuk ujung pisau dan sudut lekukan yang tidak terlalu lebar mendukung untuk melubangi kayu, sehingga tidak perlu waktu lama untuk membuat lubang pada kayu. 

Memotong Kertas (lagi)



Aku menggunakan pisau untuk memotong kertas (lagi), setelah selesai menyerut, mengupas, memotong dan melubangi kayu. Pisau masih bisa memotong kertas walau tidak selancar sebelum dipakai. Di beberapa bagian kertas terlihat micro chiping dengan lebih jelas. 

Simpulan 

Alih-alih sebagai "pajangan", pisau ini memang untuk “digunakan”. Tidak semua produsen pisau yang menggunakan baja D2 mampu mengolah D2 dengan memuaskan ketika digunakan. Pisau ini memiliki ketahanan dan kekuatan yang cukup baik serta nyaman.

Dari sisi harga pisau ini setimpal dengan kualitasnya. Aku akan menggunakan pisau ini di aktifitas alam bebas, khususnya mendaki gunung. Tentu saja, dengan bahan dari D2, Aku tidak akan menggunakan pisau ini ketika beraktifitas di rawa, pantai dan laut [.] 





__________
Tulisan ini bukan posting berbayar.

Gara-gara Kopi Cap Kupu-kupu


Sumber gambar di sini

Kang, Aku baru naik commuter line. Agak telat.” pesan singkatku kepada Eman Sulaiman yang kerap dipanggil Kang Emon.

Sepuluh menit kemudian, pesan itu berbalas.

“Santai aja Kang. Kami tunggu di Sempur ya.”

Commuter line jurusan Bogor beranjak dari Stasiun Pasar Minggu. Setibanya di Stasiun Bogor, Aku bergegas ke bilangan Sempur untuk menemui Kang Emon. Singgah sebentar, lalu kami pergi lagi.

Dari Bogor, kami akan menggunakan kendaraan umum. Hari itu, Aku akan ke Kabupaten Lebak. Tepatnya ke Desa Jagaraksa. Letak Desa Jagakarsa relatif jauh. Sekitar 35 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Lebak di Rangkasbitung. Di desa itu ada masyarakat hukum adat. Kasepuhan Karang.

***

Kasepuhan Karang berasal dari turunan bongbang. Bongbang adalah pasukan kerajaan yang bertugas membuka atau membuat bobojong (proses cikal-bakal terbentuknya kampung). Sebab itu, Kampung Karang disebut juga Bobojong Bongbang.

Pengikut kasepuhan disebut incu putu. Incu putu di Kasepuhan Karang hingga tahun 2013 sebanyak 450 orang. Jumlah ini berdasarkan ritual seren taun. Di seren tahun, incu putu wajib untuk balik taun. Balik taun adalah proses incu putu mengembalikan jati diri dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dalam istilah kasepuhan disebut hurip jeung hirup.


***

Kang, bangun. Kita turun di sini.” ucap Kang Emon, sembari mengguncang bahuku.

“Sudah sampai Kang?” kataku sembari memulihkan kesadaran.

“Kita belanja gula dan garam dulu. Buat yang punya hajat.”

“Ga sekalian kopi dan teh?” kataku.

“Kalau kopi mah ga perlu. Di sini ga jual kopi cap kupu-kupu. Orang Lebak sukanya kopi cap kupu-kupu.”

Malam itu kami langsung menuju tempat hajatan. Kardus berisi gula dan garam beralih tangan. Tak lama, kami diajak Jarwo Wahid ke rumahnya. Kantuk menyerang. Aku pamit untuk tidur. Sementara Kang Emon melanjutkan obrolan malam dengan Jarwo Wahid.

***

Pagi itu, segelas kopi cap kupu-kupu tersaji. Masih panas dan mengepulkan asap. Sebagai penggemar kopi, Aku tidak akan melewatkan kesempatan menikmatinya. Kopi cap ini melegenda di seantero Lebak. Mungkin sama dengan kopi cap Liong yang melegenda di Bogor. Aku sudah membayangkan nikmatnya sruputan pertama. Namun …

Masyarakat adat mah menuntut supaya lahan-lahan garapan masyarakat dikeluarkan dari kawasan hutan negara, yang dalam hal ini kawasan TNGHS., tiba-tiba Jarwo Wahid membuka percakapan.

(Beuuuh, kopi belum di-sruput, sudah diajak ngobrol serius.)

“Lamun teu bisa dikaluarkeun, kami mah hayang diaku ku nagara we.” lanjutnya.

(Beuuuh, mulai roaming)

Sementara, seorang perempuan mengeluarkan cemilan. Sepiring besar pisang goreng. Masih mengepulkan asap.

Harapan ini mulai ada Kang. Ada Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hal ini menegaskan masyarakat adat adalah subjek hukum. Sebagai pengelola hutan adat dan penyandang hak yang sah. Termasuk masyarakat adat Kasepuhan Karang.” Jawab Kang Emon.

(Beuuuh, mending makan pisang goreng dulu Kang! ceramahnya ntar aja)

“Bukan begitu Kang Erwin?” Sambung Kang Emon.

Tergagap, mau tidak mau harus menjawab.

“Dadi ngene sedulur, nek menurutku … ” dengan serius, Aku mencoba menjawab. Saking seriusnya, Aku lupa menggunakan Bahasa Jawa.

“Kang! Kita di Sunda bukan Jawa.” Kang Emon mengingatkan.

Suasana yang tadinya serius-pun menjadi pecah oleh tawa. Jarwo Wahid sepertinya paham apa yang sedari tadi kupikirkan. Dia kemudian mempersilakan kami meminum kopi dan mencicipi pisang goreng yang sudah tersaji.

Kopi cap kupu-kupu dan pisang goreng itu tiba-tiba menjadi tidak menarik seleraku [.]


Kontak
Erwin
By Request
Nusantara