Penanggalan
berlari ke angka 22 Januari 2009. Seorang renta meringkuk tak berdaya di truk yang mengangkutnya ke Pati. Ia bersama delapan petani lainnya. Darah terus-menerus mengalir dari luka.
Wajah keriputnya memar, nyaris bonyok.
Segerombolan aparat berbaju coklat tak berusaha menolong, malah mempermainkannya bagai seonggok sampah bau yang pantas ditinju dan ditendang. Setiap saat gerombolan itu mengambil kesempatan untuk menonjok wajahnya. Sebelum berada di truk itu, Ia sudah disiksa. Ia dipukuli! Rekannya mengalami hal yang sama. Dilempari, diinjak-injak, dipukuli dan diseret ke truk.
Segerombolan aparat berbaju coklat tak berusaha menolong, malah mempermainkannya bagai seonggok sampah bau yang pantas ditinju dan ditendang. Setiap saat gerombolan itu mengambil kesempatan untuk menonjok wajahnya. Sebelum berada di truk itu, Ia sudah disiksa. Ia dipukuli! Rekannya mengalami hal yang sama. Dilempari, diinjak-injak, dipukuli dan diseret ke truk.
***
Apa yang akan terjadi besok?
Rasanya seperti merenungi anak sungai. Bermula pada mata air,
menyalurkan rembesan air dari celah bukit kapur, menyusup di
celah-celah bebatuan, dan membelah hutan jati, menuruni lereng,
membentuk Sungai Juwana. Tiba-tiba sudah bermuara di Laut Utara Jawa. Tak terjangkau oleh perhitungan angka, juga waktu. Tak
tergambarkan, tak tertangkap oleh insting-insting peradaban yang
menghidupkan nalar. Begitulah saat badan tua ini dikurung dalam sel
penjara.
Jangankan yang akan terjadi besok, yang akan terjadi detik berikutnya tak bisa diketahui. Pada detik-detik mendatang yang menimpali detak jantung dalam tarikan napas, adalah ketidaktahuan, kegamangan, dan ketidakpastian.
Aku tidak tahu! Aku hanya berputar dan diputar oleh waktu. Begitu terbatasnya jangkauan, bukan hanya karena berada di dalam sel, tapi lebih-lebih karena dikurung dalam keterpencilan oleh kekuasaan tunggal.
Jangankan yang akan terjadi besok, yang akan terjadi detik berikutnya tak bisa diketahui. Pada detik-detik mendatang yang menimpali detak jantung dalam tarikan napas, adalah ketidaktahuan, kegamangan, dan ketidakpastian.
Aku tidak tahu! Aku hanya berputar dan diputar oleh waktu. Begitu terbatasnya jangkauan, bukan hanya karena berada di dalam sel, tapi lebih-lebih karena dikurung dalam keterpencilan oleh kekuasaan tunggal.
“Apa yang akan terjadi besok?”
Malam hening. Gelap. Tanpa kepastian. Tak terdengar suara gesekan batang-batang jati yang dimainkan angin di halaman.
Tiba-tiba
terdengar gemerincing kunci beradu rantai. Pintu blok dibuka.
Kupejamkan mata seperti orang tidur. Tapi aku mengintip dari celah
kelopak mata. Tok… tok… tok… Suara derap sepatu.
Makin mendekat. Berhenti.
"Sel siapa yang dilongoknya?"
Kembali terdengar derap langkah. Mendekat. Makin mendekat seperti berjalan di lubang kupingku. Dia berdiri di depan pintu selku. Matanya menembus ke dalam sel. Aku menahan napas.
Makin mendekat. Berhenti.
"Sel siapa yang dilongoknya?"
Kembali terdengar derap langkah. Mendekat. Makin mendekat seperti berjalan di lubang kupingku. Dia berdiri di depan pintu selku. Matanya menembus ke dalam sel. Aku menahan napas.
***
Setibanya
di Pati, kembali tuduhan dan siksaan kesekian yang mereka terima. Dalam
setiap sesi interogasi aparat berbaju coklat selalu meneriakkan
pertanyaan yang sama:
”Kamu merusak! Mengaku!”
“Kamu provokator kan?”
Sebelum mulutnya terbuka, kaki dan bogem menghantamnya. Berdarah-darah sudah bukan peristiwa aneh.
”Ayo jawab!!”
Delapan orang lainnya mengalami hal yang sama. Bahkan seorang pemuda tanggung diancam akan ditembak dengan menggunakan pistol.
”Kamu merusak! Mengaku!”
“Kamu provokator kan?”
Sebelum mulutnya terbuka, kaki dan bogem menghantamnya. Berdarah-darah sudah bukan peristiwa aneh.
”Ayo jawab!!”
Delapan orang lainnya mengalami hal yang sama. Bahkan seorang pemuda tanggung diancam akan ditembak dengan menggunakan pistol.
***
“Siapkan diri!” perintahnya.
“Siapkan semua barang. Pindah!” suaranya, memancing kegelisahan.
“Ke mana?”
“Ke mana?”
“Tunggu saja.”
Selama menunggu diberangkatkan, aku duduk tercenung, sepintas masih mengharapkan kedatangan dulur-dulur-ku. Aku gelisah. Khawatir dulur-dulur-ku tidak mengetahui kepindahanku.
Aku memanggil seorang pemuda tanggung. Jari-jariku terasa gatal. Namun aku tidak bisa menulis. Ada kekuatan yang bangkit dalam tubuhku. Aku seperti mendengar suara puisi. Aku mendengar suara sapaannya. Aku digetarkannya. Aku tidak butuh makan, tidak butuh minum. Aku hanya perlu pensil dan secarik kertas. Menyampaikan pesan:
”Alesan aku nolak pabrik nang Sukolilo karena sawah aku mung kuwe walaupun mung sitik tapi iso kanggo ncukupi pangan keluarga aku nganti saiki. Aku ora setuju nek ono pabrik semen nang Sukolilo! mung gawe bencana! Pas kedadean 22 Januari 2009 aku seko sawah. Pas liwat aku dikongkon mandeg karo wargo: “Mbah, ora usah muleh ning kene wae ngenteni Pak Lurah teko rene” trus aku ra sido bali, pengin ngerti sing dikondho karo Pak Lurah. Pas waktu rame - rame aku ditangkep lan diantemi entek -entekan lan digowo neng truk polisi. Wektu aku disidik di Polres Pati aku yo diantemi karo ditekan..!! Kok sing salah ora dihukum malah sing ora nglakoni opo-opo dihukum. Wong wargo ora pengen adol sawah kok dipekso kon adol. Nek ora adol arep dikeruk. aku pengen adil seadil-adile…!”
Suara peluit terdengar melengking, menikam keheningan dan memutus komat-kamitku. Kami digiring ke truk yang siap mengantar ke ibukota Jawa Tengah [.]
Lereng karst, Agustus 2009