Catatan

image

Tentang

Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. Petra adalah batu dan ichor artinya darah para dewa. Karena alasan itu-lah, blog ini bernama "Petrichor".

"Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.


Pendidikan
Unika Soegijapranata

Magister Lingkungan dan Perkotaan

Universitas Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum


Pekerjaan
2013 - sekarang, Perkumpulan HuMa Indonesia

Analisa Hukum dan Data

2008 - 2012, LBH Semarang

Pengabdi Bantuan Hukum


Keahlian
Analisa Hukum
Fasilitator
Pendaki Gunung
Blog

Santap Siang di Rumah Blandong Randublatung


Moggo kopi leletnya.”

Matur nuwun, Bu.” Aku mengucapkan terimakasih seraya menyalakan sebatang kretek.

Sembari meminumnya, Aku-pun mengajak Ibu itu berbincang. Sekedar mencairkan suasana

Randublatung masih jauh, Bu?

Wah, masih jauh Mas. Satu jam lagi kalau naik motor. Tapi kalau sudah malam seperti ini, tidak ada kendaraan lagi. Mas mau ke sana?

Iya Bu. Wah, kalau sudah tidak ada kendaraan, lalu bagaimana baiknya ya?

Mas tidur saja di Masjid itu, besok pagi baru cari kendaraan ke Randublatung.

Terimakasih Bu.”

Dan Aku-pun menghisap kretek semakin dalam.

***

Randubatung -desa yang menjadi tujuanku- merupakan daerah berkapur di Kabupaten Blora. Hutan-hutan jati mengelilingi penjuru wilayahnya. Wilayah ini adalah bagian dari Pegunungan karst Kendeng Utara. Kawasan karst ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati (bagian selatan), Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro (bagian utara) dan Lamongan (bagian barat).

Sumber gambar: di sini

Dari segi struktur tanah, daerah ini didominasi tanah kapur yang terbentuk dari proses panjang pelapukan batuan gamping. Tepatnya, jenis tanah di daerah ini adalah mediteran, yaitu campuran dari proses pelapukan batuan gamping dan batuan sedimen. Warna tanah jenis ini adalah kemerahan sampai coklat. Meski tanah mediteran kurang subur untuk pertanian, namun jenis ini amat cocok untuk tanaman-tanaman tertentu seperti palawija, tembakau, jambu mete dan, termasuk juga: pohon jati!

Sumber gambar: di sini

Pohon jati -tectona grandis sp. dalam istilah latin- tumbuh dengan ideal pada tanah yang mengandung banyak kapur dan fosfor, memiliki kadar keasaman rendah (basa), dan tidak banyak tergenang air. Semua syarat itu ditemukan dengan baik di Randublatung. 

Pohon jati tumbuh subur di Randublatung. Kondisi itu membuat (hampir) seluruh fragmen kehidupan di Randublatung tidak lepas dari Pohon Jati.

***

Mba Nik akan memasak sayur lodeh pagi itu. Mba Nik memulainya dengan memarut cikalan kelapa tua. Aku dan anak Mba Nik yang paling kecil juga kebagian tugas. Tugas kami: membersihkan panci dan mususi beras di belik pinggir sungai.

“Nang, tadi bapak berangkat jam berapa?” tanyaku di belik.

“Selepas sholat subuh Mas. Mas tadi masih tidur.”

“Bapak kemana?”

“Mblandong Mas. Mencari rencek kayu jati untuk masak.”

“Mblandong?”
batinku.

***

Masyarakat Blora memanfaatkan hutan secara leluasa dan berpindah-pindah sebelum kedatangan VOC di Jawa. Mereka dikenal sebagai orang Kalang yang keahliannya adalah menebang kayu. Masuknya VOC mulai membatasi akses orang-orang Kalang untuk memanfaatkan hutan. VOC ingin merebut penguasaan atas kayu hutan yang ada di Jawa -terutama jati- untuk membangun kapal-kapal perang dan angkutan hasil bumi ke Eropa.

VOC mempekerjakan orang Kalang sebagai buruh penebang kayu dengan upah rendah. Buruh penebang kayu dengan upah rendah disebut dengan blandong.


Namun, istilah blandong sudah mengalami perubahan. Dari makna “buruh penebang kayu” saat masa VOC menjadi “pencuri kayu” saat ini.

Sumber gambar: di sini

Makna blandong berubah, namun pola pengelolaan hutan jati masih dipertahankan dari masa VOC ke masa kini. Saat ini, hutan jati dikelola oleh Perhutani. Kawasan hutan jati yang dikelola oleh Perhutani seluas 49.118% wilayah Kabupaten Blora.

***

Tidak ada yang bisa aku lakukan ketika Mba Nik mulai menyalakan rencek di pawon memasak. Dapur adalah wilayah kekuasaannya. Aku-pun memutuskan untuk beranjak menemani dengan Mas Lik –suami Mba Nik– yang sudah pulang dari hutan. Belum sempat Aku menyapa, Mas Lik berucap.

Mas, orang kota enak ya?

Aku kaget mendengarnya. “Kenapa Mas?

Iya, kerjanya enak. Ndak khawatir ditembak."


"Mas tau? Tahun 1998, Perhutani nembak dua orang warga yang ngerencek di hutan. 

"Mereka dituduh Perhutani sebagai pencuri."
 

Siapa Mas?”, tanyaku.

Teman Saya Mas Darsit dan Rebo. Ndak cuma tahun itu, tahun 2000 Djani mati ditembak Polisi Hutan yang sedang melakukan operasi pengamanan hutan."


"Padahal Djani ndak nyuri kayu. Kesalahan dia, dia pergi ke sawah membawa cangkul.

Mas, makanan sudah siap!” teriak Mba Nik dari dapur, memotong obrolan kami.

***

Nasi panas sudah tersaji di wakul bambu yang sudah diberi alas daun jati. Nasi itu memiliki rasa dan aroma yang lebih nikmat karena dituangkan panas-panas di atas daun jati. Sayur lodeh tersaji di rantang blirik. Sambel trasi menjadi teman nasi dan sayur lodeh itu. 

Seluruh masakan yang kami santap siang hari itu dimasak dengan menggunakan rencek dari hutan. Rencek yang menurut Pehutani dicuri dari hutan jati oleh blandong Randublatung [.]

Kontak
Erwin
By Request
Nusantara