Akhirnya,
pesawat Garuda Indonesia mengudara di atas langit Cengkareng. Langit
tengah malam itu sedikit gerimis, namun setelah pesawat mencapai
ketinggian cruising-nya keadaan berubah menjadi cerah. Beberapa awan cirrocumulus yang tersebar di beberapa tempat.
Pesawat tujuan Merauke ini transit dua kali, di Makassar dan Jayapura. Dua kali pula Aku dan seorang kawan meninggalkan pesawat sekedar untuk meluruskan kaki dan menikmati secangkir kopi panas. Berangkat dari Jakarta pukul 23.50 WIB, pesawat ini tiba keesokan harinya di Merauke pada pukul 9.20 Wita.
Menjelang turun, pesawat melayang di atas Sungai Maro. Dari ketingian, Merauke tampak rata. Sejenak kemudian pesawat menjejakkan rodanya di landasan. Pendaratan yang mulus. Ketika pesawat bergerak menuju apron, perasaanku bercampur aduk. Akhirnya sampai di Papua!
Pesawat tujuan Merauke ini transit dua kali, di Makassar dan Jayapura. Dua kali pula Aku dan seorang kawan meninggalkan pesawat sekedar untuk meluruskan kaki dan menikmati secangkir kopi panas. Berangkat dari Jakarta pukul 23.50 WIB, pesawat ini tiba keesokan harinya di Merauke pada pukul 9.20 Wita.
Menjelang turun, pesawat melayang di atas Sungai Maro. Dari ketingian, Merauke tampak rata. Sejenak kemudian pesawat menjejakkan rodanya di landasan. Pendaratan yang mulus. Ketika pesawat bergerak menuju apron, perasaanku bercampur aduk. Akhirnya sampai di Papua!
***
“Bung, mau ikut aku ke Merauke?”
“Di Merauke saja? Main-main ke pedalaman ga?”
“Iya di Merauke saja.”
“Ok.”, jawabku tanpa berpikir panjang.
“Di Merauke saja? Main-main ke pedalaman ga?”
“Iya di Merauke saja.”
“Ok.”, jawabku tanpa berpikir panjang.
***
Adalah seorang kawan yang mengajakku ke Merauke untuk sebuah urusan. Kantor tempat kawanku bekerja
sedang melakukan sebuah riset di daerah tersebut. Riset ingin melihat
sebuah “terobosan” dari Jakarta, menjadikan Merauke lumbung pangan
nasional.
Program ini awalnya digagas Johannes Gluba Gebze, Bupati Merauke saat itu. Niat dia, membangkitkan ekonomi masyarakat. Walau pengelolaan diserahkan ke swasta, tapi dikembangkan dengan model perkebunan. Basisnya pada beras, sagu, jagung, kedelai dan tebu, dengan skema Merauke Integrated Rice Estate (MIRE).
Usulan John disambut baik Jakarta, kran investasi dibuka. Tapi yang datang jutru banyak pemain sawit, investasi di bidang pangan kurang peminat. Untuk menampungnya, pada 2010 MIRE berubah menjadi Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Sawit masuk di dalamnya, sebagai sumber energi.
Aku-pun mulai melakukan penelusuran di Internet. Beragam jurnal kuunduh. Sesekali Aku juga membuka beberapa laman perjalanan. Beberapa laman itu bercerita tentang ganasnya nyamuk Anopheles di pedalamana Merauke.
Aku-pun mengirim pesan pendek: “Kita cuma di Kota Merauke kan?”
“Iya.” Sebuah balasan pesan pendek masuk ponselku.
“Jadi, kita ga perlu minum pil kina?”
“Ga usah-lah, lagian percuma, kan kita berangkat besok”
Dan itu adalah sebuah kesalahan.
Program ini awalnya digagas Johannes Gluba Gebze, Bupati Merauke saat itu. Niat dia, membangkitkan ekonomi masyarakat. Walau pengelolaan diserahkan ke swasta, tapi dikembangkan dengan model perkebunan. Basisnya pada beras, sagu, jagung, kedelai dan tebu, dengan skema Merauke Integrated Rice Estate (MIRE).
Usulan John disambut baik Jakarta, kran investasi dibuka. Tapi yang datang jutru banyak pemain sawit, investasi di bidang pangan kurang peminat. Untuk menampungnya, pada 2010 MIRE berubah menjadi Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Sawit masuk di dalamnya, sebagai sumber energi.
Aku-pun mulai melakukan penelusuran di Internet. Beragam jurnal kuunduh. Sesekali Aku juga membuka beberapa laman perjalanan. Beberapa laman itu bercerita tentang ganasnya nyamuk Anopheles di pedalamana Merauke.
Aku-pun mengirim pesan pendek: “Kita cuma di Kota Merauke kan?”
“Iya.” Sebuah balasan pesan pendek masuk ponselku.
“Jadi, kita ga perlu minum pil kina?”
“Ga usah-lah, lagian percuma, kan kita berangkat besok”
Dan itu adalah sebuah kesalahan.
***
“Ini gila!”, teriakku.
Kawanku yang sedang menikmati kopinya kemudian menghampiriku.
“Lihat deh data-data ini. Sampai dengan 2011, tercatat tidak kurang dari 40 perusahaan telah mendapat ijin lokasi dan ijin operasional dalam proyek MIFEE."
Kawanku yang sedang menikmati kopinya kemudian menghampiriku.
“Lihat deh data-data ini. Sampai dengan 2011, tercatat tidak kurang dari 40 perusahaan telah mendapat ijin lokasi dan ijin operasional dalam proyek MIFEE."
"Ia
merampas tanah suku Marind-anim. Meskipun baru beberapa saja di
antaranya yang telah beroperasi di lapangan, namun dampaknya telah
muncul."
"Sebagai
contoh, PT Selaras Inti Semesta, anak perusahaan kelompok Medco, di
Zanegi dan Kaliki telah menghabiskan hutan di areal lebih dari 20.000
ha. Dampak yang paling mudah diindetifikasi adalah hilangnya tanaman
sagu yang menjadi sumber pangan suku Marind-anim, yang masih meramu dan
berburu (hunting and gathering). Keadaan tidak jauh berbeda dengan
situasi di Onggari dan Domande. Di sana, PT Rajawali mengembangkan
perkebunan tebu. Selain itu, pemukulan dan kekerasan terjadi terhadap
masyarakat, perusahaan menggunakan aparat militer dan polisi untuk
merepresi dan mengintimidasi masyarakat di kampung-kampung”, terangku.
"Kita harus ke lapangan untuk mendalami ini."
Kami-pun menyewa motor, menghubungi beberapa kontak untuk guide. Beberapa hari kami menjelajahi pedalaman Merauke. Terutama daerah Orang Marind.
"Kita harus ke lapangan untuk mendalami ini."
Kami-pun menyewa motor, menghubungi beberapa kontak untuk guide. Beberapa hari kami menjelajahi pedalaman Merauke. Terutama daerah Orang Marind.
Daerah orang Marind adalah daerah dataran rendah di tepi pantai yang terdiri dari bukit-bukit pasir. Pohon-pohon kelapa banyak tumbuh diatas bukit pasir itu. Di belakang bukit pasir terbentang daerah rawa-rawa dan pohon bakau. Di sana letak hutan-hutan sagu dan daerah perladangan dari penduduk. Semakin ke dalam, mulai muncul daerah sabana yang diselingi rawa-rawa.
Interaksi kami dengan penduduk semakin menyakinkan kami telah terjadi perampasan tanah di Merauke. Perusahaan-perusahaan yang menerima ijin lokasi dari pemerintah daerah untuk beroperasi, berhadapan langsung dengan marga-marga dalam suku Marind-anim, termasuk mengadakan negosiasi dan perjanjian pemakaian atau penyerahan tanah. Suku Marind-anim kemudian melakukan negosiasi dan perjanjian tanpa mendapat informasi yang cukup. Ia merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC).
***
Siang
itu di sebuah dipan. Badanku terasa panas. Kawanku merasakan hal yang
sama. Kami sepakat untuk ke rumah sakit. Vonis dokter: Malaria [.]