Anaphalis javanica di Alun-alun Suryakencana ternyata kembang dengan malu-malu bulan ini. Dalam rumpunnya hanya beberapa yang mekar. Sisanya mungkin luruh ke tanah Suryakencana. Aku sadar, ini bukan lembah kasih, tapi ia tetap mampu menciptakan getar puitis di dalam hati.
Suryakencana selalu mengantarkan nuansa syahdu kepada para pelintas. Ia sekaligus jeda, sebelum tubuh dipaksa bekerja kembali selama satu jam kedepan untuk menjejak puncak Gede.
Betapa menderitanya tubuh pelintas yang harus menyusuri jalur ini. Pada titik ini kaki seperti hantu. Berjalan sendiri. Lepas dari pikiran yang mengembara kemana-mana. Satu keinginan yang selalu terbersit, cepat-lah berakhir ayuanan langkah ini.
Dan ketika ayunan langkah ini berakhir di Puncak Gede, matahari telah meninggi. Desau angin bersiul di antara pokok-pokok Cantigi. Seketika rindu-pun luruh menebar. Tak ada keindahan dan situasi yang paling mendebarkan ketika rindu menggulung waktu. Saatnya pulang.
Pulang, ya pulang! Bagi sebagian orang kata pulang kadang membawa beban: waktu telah habis. Tapi tidak bagi para pelintas, bagiku. Di titik itu waktu ingin dihentikan. Agar tak ada lagi perjalanan, menyisir jalan, memintas kota demi kota, menjelajahi hutan dan gunung.
Pulang adalah impian. Impian yang akan mewujud ketika waktu terajut di ranjang jengki rumah kita. Terasa cinta mengalir pada secangkir teh tubruk melati, ketika si kecil merayap mengejar crawl ball dan ibunya menjaganya agar tidak jatuh di sisi ranjang.
Pada akhirnya, keluarga adalah oase, pelepas dahaga musafir yang tak tertanggungkan. Pulang adalah anugrah [.]
Suryakencana selalu mengantarkan nuansa syahdu kepada para pelintas. Ia sekaligus jeda, sebelum tubuh dipaksa bekerja kembali selama satu jam kedepan untuk menjejak puncak Gede.
Betapa menderitanya tubuh pelintas yang harus menyusuri jalur ini. Pada titik ini kaki seperti hantu. Berjalan sendiri. Lepas dari pikiran yang mengembara kemana-mana. Satu keinginan yang selalu terbersit, cepat-lah berakhir ayuanan langkah ini.
Dan ketika ayunan langkah ini berakhir di Puncak Gede, matahari telah meninggi. Desau angin bersiul di antara pokok-pokok Cantigi. Seketika rindu-pun luruh menebar. Tak ada keindahan dan situasi yang paling mendebarkan ketika rindu menggulung waktu. Saatnya pulang.
Pulang, ya pulang! Bagi sebagian orang kata pulang kadang membawa beban: waktu telah habis. Tapi tidak bagi para pelintas, bagiku. Di titik itu waktu ingin dihentikan. Agar tak ada lagi perjalanan, menyisir jalan, memintas kota demi kota, menjelajahi hutan dan gunung.
Pulang adalah impian. Impian yang akan mewujud ketika waktu terajut di ranjang jengki rumah kita. Terasa cinta mengalir pada secangkir teh tubruk melati, ketika si kecil merayap mengejar crawl ball dan ibunya menjaganya agar tidak jatuh di sisi ranjang.
Pada akhirnya, keluarga adalah oase, pelepas dahaga musafir yang tak tertanggungkan. Pulang adalah anugrah [.]