Catatan

image

Tentang

Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. Petra adalah batu dan ichor artinya darah para dewa. Karena alasan itu-lah, blog ini bernama "Petrichor".

"Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.


Pendidikan
Unika Soegijapranata

Magister Lingkungan dan Perkotaan

Universitas Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum


Pekerjaan
2013 - sekarang, Perkumpulan HuMa Indonesia

Analisa Hukum dan Data

2008 - 2012, LBH Semarang

Pengabdi Bantuan Hukum


Keahlian
Analisa Hukum
Fasilitator
Pendaki Gunung
Blog

Tabah Sampai Akhir (bagian 1)



Tidak terasa sudah lebih dari 10 tahun aku berinteraksi dengan HMPA Yudhistira. Itu semua berawal dari Pendidikan Dasar Yudhistira (PDY). Tulisan ini ingin mengenang kembali salah satu pengalaman paling berkesan dalam hidupku.

Rangkaian PDY berlangsung kurang lebih sebulan. Terdiri dari tahap indoor di Kampus FH Unsoed dan tahap outdoor yang meliputi operasional gunung-hutan, susur pantai dan tebing.

Akhirnya, aku bersama 15 orang teman-temanku berhasil menyelesaikan PDY. Kami memilih menggunakan nama angkatan Tirta Bhaskara. Tirta yang artinya Air dan Bhaskara yang artinya Matahari. Secara historis, nama ini kami pilih karena selama PDY kami selalu ditemani hujan saat operasional gunung-hutan. Kami baru bisa menikmati sinar matahari saat operasional susur pantai. Sambil memanggil ingatan yang semakin kabur, keinginan untuk menulis-pun ingin aku tumbuhkan lagi.

***

Pagi itu embun masih tersisa di pucuk-pucuk pohon. Basah dan dingin. Namun tidak ada waktu lagi untuk memikirkannya. Peluit sudah berbunyi, itu artinya kami harus sudah menyelesaikan packing ransel. Tempat itu begitu rimbun. Hanya ada pohon besar dan belukar. Warna yang dominan saat itu adalah hijau. Hutan yang membentang seluas mata memandang.

Kami berada titik awal operasional SAR. Latihan ini merupakan bagian dari tahapan medan operasi gunung-hutan, setelah sebelumnya melewati tahap navigasi darat dan survival. Walau telah melewati beberapa tahap operasional, tapi itu tidak-lah menjadi penambah semangat bagiku. Langkah gontai, pandangan yang ada adalah pandangan yang buram, semangat yang ada adalah keputusasaan, pikiran yang ada adalah ingin pulang.

“Siswa! Cepat selesaikan packing-nya, siswa!”

Pakai Ranselnya sekarang!” perintah Yoga, pemateri SAR saat itu.

“Berat! Ransel ini begitu berat!” batinku dalam hati.

Sepertinya banyak sekali air yang masuk ke ransel, dampak dari packing yang asal-asalan. Aku bisa merasakan lilitan saraf di bahu terjepit. Perlahan, sensasi di ujung-ujung jari menghilang. Lengan terasa lemas untuk diayunkan. 

“Siswa! Hei, siswa! Rapatkan barisan dengan yang depan, siswa!”

Barisan tidak kunjung rapi. Tidak ada yang sanggup berdiri tegap lagi, dengan ransel seberat itu. Ingin kubuang! Benda brengsek ini kubuang saja!

“SISWAAAA!”

Hanya ada tiga orang pantia saat itu yang nampak di lokasi. Seorang pemateri dan dua orang ta-tib. Mereka mulai berteriak dan maju ke barisan kami yang tidak rapi itu. Mereka mulai menggampar ransel-ransel kami. Beberapa detik kemudian, setelah berdiri dengan stabil, terdengar suara di sampingku berdiri sendiri yang berteriak sambil melepaskan ranselnya. 

Kang, aku ingin pulang!” 


***

“Siswa Ronald dan Siswa Topan, kalian mau pulang!?” tegas Mia, ta-tib saat itu

Malam harinya aku satu bivak dengan topan. Sementara Ronald ada di bivak sebelah kami. Kami memang sempat berkelakar akan pulang esok hari. Namun, aku tidak mengerti kenapa kelakaran tersebut benar-benar terjadi pagi itu.

Pecundang!” Pepeng, ta-tib yang lain berteriak.

“Pulang saja kamu! Tinggalkan teman-temanmu disini” teriak Mia.

Sementara di barisan, siswa PDY mulai riuh, berteriak kepada kedua temannya untuk tetap tinggal dan melanjutkan pendidikan dasar itu. Saat itu kami memang belum saling mengenal, tapi kami terus berteriak... dan berteriak...

Entah apa yang menggerakkan mereka, mereka kemudian mengambil kembali ransel mereka dan berteriak.

“Kang, kami lanjut!” 

***

Satu jam kemudian kami pakai untuk pembagian tim menjadi beberapa SRU dan melakukan navigasi darat. Aku mendapat tugas menjadi navigator. Awalnya, aku mengalami kesulitan ber-navigasi di dalam rimba yang pokok-pokok pohonnya menghalangi pandangan mata. Titik ekstrem seperti puncak gunung atau bukit yang nampak, semua terlihat sama. 

Pemateri langsung memberi koordinat titik awal dan titik akhir, sehingga tugas kami hanya mem-plotting di peta dan membidikkan kompas. Lalu kami ditinggal. Ya sekarang kami sendirian, tanpa panitia, tanpa pendamping, tanpa pemateri. 

***

SRU kami berjalan, pelan. Belukar setinggi manusia bagaikan tembok, masih ditambah rimbunnya pepohonan dan kemiringan lereng punggungan itu. SRU hanya bisa berjalan pelan, berpegang pada seutas webbing. Tidaklah mungkin berjalan tegap gagah, karena hanya akan membuat ransel tersangkut ranting pepohonan. Tangan sudah sangat lelah untuk melakukan penebasan. Semua berjalan melaju menggunakan kedua lututnya, bahkan nyaris merangkak.

Lutut kanan aku bawa ke depan. Badan menjadi sedikit oleng karena terbawa oleh ransel yang berat. Kemudian, lutut kiri menyusul ke depan. Lalu lutut kanan, kemudian lutut kiri lagi.

Cukup lama kami berkutat di punggungan itu, Beberapa teman sempat jatuh dari tebing, untung masih tertahan oleh webbing atau pokok-pokok pohon besar. Sementara kami mulai kelelahan. Beberapa mengernyit, menahan sakit di bahunya. Yang lain membuka mulutnya, terengah-engah, dan air matanya mengucur.

Akhir kami berhasil menembus punggungan itu. Setelah berjam-jam kepayahan, kami sampai di sebuah sungai selebar 3 meter. 

Terkesima!

Sungai itu memang tidak lebar, namun hujan lebat mulai turun dan air sungai semakin deras. Sementara di depan kami adalah air terjun dengan tebing curam di sisi-sisinya. Jika melihat peta, maka mau-tidak mau kami harus menuruni air terjun itu.

Sungai itu harus kami susuri. Air terjun itu harus kami turuni. Sambil mengedan, kami membuat anchor dan memasang tali. Menuruni tebing dengan menggunakan ransel tidak semudah yang dibayangkan. Pinggang sakit. Kaki pegal. Nafas memendek. Pikiran berandai-andai apakah kalori makan siang -umbut pakis- tadi masih tersisa.

Air terjun itu membawa kami menyusuri sungai dengan riam-riam deras. Bagiku itu adalah sungai keputusasaan. Tidak tahu sungai ini berujung di mana. Tidak tahu ke mana. Namun, kami harus terus maju, tak ada lagi hal lain yang bisa dilakukan. Percuma minta pertolongan. Setiap kami sibuk berjuang melewati sungai dengan ransel yang semakin berat karena air. 

Tidak tahu berapa lama. Tidak peduli berhasil atau tidak. Hanya satu yang perlu dipikirkan, yaitu melangkah. Dan melangkah. Dan melangkah. Tak terasa malam mulai menunjukkan kuasanya. 

***

Pernah-kah engkau berada di atas bukit yang luas saat malam hari? Dan melihat seberkas sinar di kejauhan? Dan engkau harus berjalan menuju sinar itu? 

Itu yang kami rasakan. Kami telah sampai di atas sebuah bukit. Nun jauh di kaki bukit, nampak seberkas sinar. Sontak kami hanya bisa berpikir, "itu titik akhir". Tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali maju. Maju, walau perlahan, begitu pelan, sambil sesekali menghela napas karena batu pijakan berguguran ke bawah. Untuk tiba tempat seberkas sinar itu, yang dibutuhkan bukanlah kecepatan. Tapi kesabaran. 

***

Sinar head lamp itu semakin dekat. Seseorang meniup peluit, dan menginstruksikan kami untuk berbaris. 

Siswa, selamat datang di titik akhir opersional SAR!” 

Operasional SAR telah terlewati. Kami sampai di titik akhir selepasi jam 1 dini hari. Tidak tahu bagi teman-teman yang lain, tapi bagiku medan ini dilewati bukan dengan kekuatan, tapi dengan ketabahan. Ya, tabah hingga akhir.

bersambung [.]



__________
Tulisan ini sebenarnya sudah aku siapkan di bulan April 2013 untuk memperingati hari lahir HMPA Yudhistira. Namun, karena tidak ada akses internet di pedalaman Kalimantan, maka baru hari ini bisa aku upload.
 

Surat Anak Petani Trisobo



Rumah-rumah di desaku hanyalah berdinding anyaman bambu. Beratap genteng-genteng yang mulai pecah dengan lobang-lobang besar di atas jendela, tempat angin lalu lalang. Tetapi, Kami tidak mengeluh. Di desaku harap terbangun dan hidup bertarung. Kami makan apa yang diberikan tanah ini. Kami tertawa, bercanda, berlarian. Begitu juga Kami lewati malam-malam panjang meski tak ada kepastian.

Bulan merangkak naik, sayup-sayup terdengar tembang simbah sebelah rumah. Berangkai-rangkai doa membubung ke awan, seperti bintang-bintang yang berarak mengantarkan harap. Tembang tentang masa depan yang indah sebagai pengantar tidur cucu-nya. Lagu itu menelisik malam diantara pohon ace dan durian di halaman rumah yang tidak seberapa luas. Sesaat keheningan terusik lirih suaranya, seperti rapalan mantera.
Aku mengambil secarik kertas dan sebuah pena,
Aku ingin menulis surat.” batinku.
***
Aku tulis surat ini jauh di tempat yang hampir terlupakan, Trisobo, Kendal. Kau pasti tahu, tanah di Trisobo mayoritas adalah perkebunan karet milik perusahaan pemegang HGU dan hutan yang dikuasai oleh Perhutani dengan luas 539,185 hektar.
Ingatkah Kau padaku? Aku Minah, Aku bukanlah “orang kota” yang gemar membaca buku untuk memiliki kesadaran akan penindasan. Aku perempuan, anak petani tidak bertanah! Aku hanyalah perempuan yang lugu penuh rasa ingin tau, berkulit merah terbakar matahari, karena membantu bapak menggarap tanah milik orang.
Waktu itu, sekitar antara tahun 1998 – 1999, perusahaan perkebunan menebangi pohon–pohon karet yang sudah tua dengan alasan replanting. Aku masih ingat pagi itu, tanggal 17 April 2000, sekitar jam 10.30 WIB, bapak-bapak membawa cangkul, pun dengan ibu dan anak-anak membawa peralatan semampunya dan mulai menanami lahan bekas pohon-pohon karet itu dengan pohon ketela dan pisang.
Kata orang-orang yang simpati kepada Kami, itu adalah reclaiming. Kata perusahaan, Kami melakukan penyerobotan tanah. Kami tidak peduli apa istilahnya, kami hanya ingin menggarap tanah.
Meskipun Aku terlalu kecil untuk paham bagaimana wajah kekuasaan, tetapi Aku-lah penyaksi ketika huma di ladang terbakar, pohon ketela direbahkan dan pohon Kami bertumbangan ditebas di tahun 2008. Ketika bapak dan yang lain berusaha mempertahankan pokok-pokok tanaman itu Aku juga penyaksi, mereka ditangkap! Semua hanya untuk kekalnya pohon-pohon karet.


Sementara, sayup-sayup di radio, Aku mendengar  MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyebutkan empat permasalahan pokok agraria di Indonesia, yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkonsistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam. Dari radio pula, Aku mendengar janji presiden SBY melaksanakan agenda “reforma agraria” dalam pidato tahunan pada tanggal 31 Januari 2007. Sempat melambungkan harap, namun janji tinggalah janji.
Kerinduanku padamu mengalahkan segalanya, meskipun orang-orang yang datang dari kota. Orang-orang simpati yang bersilat demi Kami di antara rimba hukum, Aku tak peduli. Karena hukum bagi Kami telah berubah berwajah menjadi polisi, para preman dan penjara. Mengerikan!
***
Minah, sudah malam, lekas tidur, besok pagi kita harus menyiangi rumput di ladang pak manten.” ucap Bapakku.
Sebentar lagi pak.” jawabku.
Malam ini, teramat dingin, adik-adikku menggeliat kedinginan. Kami hanya punya kain lusuh yang pernah mengendong generasi demi generasi sebagai pembungkusnya.
kenapa api membakar huma di ladang Kami?”
”menjadi mimpi buruk yang tak pernah usai."
”Mengapa ibu dan bapak mesti diusir?”
”Tuhan, Aku tulis surat ini, berharap sampai padamu.” batinku sembari merapatkan tubuhku di samping adik-adikku [.]






Trisobo, 10 April 2013


Kontak
Erwin
By Request
Nusantara