Surat Anak Petani Trisobo
Rumah-rumah di desaku hanyalah berdinding anyaman bambu.
Beratap genteng-genteng yang mulai pecah dengan lobang-lobang besar di atas
jendela, tempat angin lalu lalang. Tetapi, Kami tidak mengeluh. Di desaku harap
terbangun dan hidup bertarung. Kami makan apa yang diberikan tanah ini. Kami
tertawa, bercanda, berlarian. Begitu juga Kami lewati malam-malam panjang meski
tak ada kepastian.
Bulan merangkak naik, sayup-sayup terdengar tembang simbah
sebelah rumah. Berangkai-rangkai doa membubung ke awan, seperti bintang-bintang
yang berarak mengantarkan harap. Tembang tentang masa depan yang indah sebagai
pengantar tidur cucu-nya. Lagu itu menelisik malam diantara pohon ace dan
durian di halaman rumah yang tidak seberapa luas. Sesaat keheningan terusik
lirih suaranya, seperti rapalan mantera.
Aku mengambil secarik kertas dan sebuah pena,
”Aku ingin menulis surat.” batinku.
***
Aku tulis surat ini jauh di tempat yang hampir terlupakan,
Trisobo, Kendal. Kau pasti tahu, tanah di Trisobo mayoritas adalah perkebunan
karet milik perusahaan pemegang HGU dan hutan yang dikuasai oleh Perhutani
dengan luas 539,185 hektar.
Ingatkah Kau padaku? Aku Minah, Aku bukanlah “orang kota”
yang gemar membaca buku untuk memiliki kesadaran akan penindasan. Aku
perempuan, anak petani tidak bertanah! Aku hanyalah perempuan yang lugu penuh
rasa ingin tau, berkulit merah terbakar matahari, karena membantu bapak
menggarap tanah milik orang.
Waktu itu, sekitar antara tahun 1998 – 1999, perusahaan
perkebunan menebangi pohon–pohon karet yang sudah tua dengan alasan replanting.
Aku masih ingat pagi itu, tanggal 17 April 2000, sekitar jam 10.30 WIB, bapak-bapak
membawa cangkul, pun dengan ibu dan anak-anak membawa peralatan semampunya dan
mulai menanami lahan bekas pohon-pohon karet itu dengan pohon ketela dan
pisang.
Kata orang-orang yang simpati kepada Kami, itu adalah
reclaiming. Kata perusahaan, Kami melakukan penyerobotan tanah. Kami tidak
peduli apa istilahnya, kami hanya ingin menggarap tanah.
Meskipun Aku terlalu kecil untuk paham bagaimana wajah
kekuasaan, tetapi Aku-lah penyaksi ketika huma di ladang terbakar, pohon ketela
direbahkan dan pohon Kami bertumbangan ditebas di tahun 2008. Ketika bapak dan
yang lain berusaha mempertahankan pokok-pokok tanaman itu Aku juga penyaksi,
mereka ditangkap! Semua hanya untuk kekalnya pohon-pohon karet.
Sementara, sayup-sayup di radio, Aku mendengar MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
menyebutkan empat permasalahan pokok agraria di Indonesia, yaitu: pemilikan
tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkonsistensi hukum, serta
kerusakan sumber daya alam. Dari radio pula, Aku mendengar janji presiden SBY
melaksanakan agenda “reforma agraria” dalam pidato tahunan pada tanggal 31
Januari 2007. Sempat melambungkan harap, namun janji tinggalah janji.
Kerinduanku padamu mengalahkan segalanya, meskipun
orang-orang yang datang dari kota. Orang-orang simpati yang bersilat demi Kami
di antara rimba hukum, Aku tak peduli. Karena hukum bagi Kami telah berubah
berwajah menjadi polisi, para preman dan penjara. Mengerikan!
***
“Minah, sudah malam, lekas tidur, besok pagi kita harus
menyiangi rumput di ladang pak manten.” ucap Bapakku.
“Sebentar lagi pak.” jawabku.
Malam ini, teramat dingin, adik-adikku menggeliat
kedinginan. Kami hanya punya kain lusuh yang pernah mengendong generasi demi
generasi sebagai pembungkusnya.
”kenapa api membakar huma di ladang Kami?”
”menjadi mimpi buruk yang tak pernah usai."
”Mengapa ibu dan bapak mesti diusir?”
”Tuhan, Aku tulis surat ini, berharap sampai padamu.”
batinku sembari merapatkan tubuhku di samping adik-adikku [.]
Trisobo, 10 April 2013
0 komentar:
Posting Komentar