Rabu, 04 Februari 2015

Surat Anak Petani Trisobo


Rumah-rumah di desaku hanyalah berdinding anyaman bambu. Beratap genteng-genteng yang mulai pecah dengan lobang-lobang besar di atas jendela, tempat angin lalu lalang. Tetapi, Kami tidak mengeluh. Di desaku harap terbangun dan hidup bertarung. Kami makan apa yang diberikan tanah ini. Kami tertawa, bercanda, berlarian. Begitu juga Kami lewati malam-malam panjang meski tak ada kepastian.

Bulan merangkak naik, sayup-sayup terdengar tembang simbah sebelah rumah. Berangkai-rangkai doa membubung ke awan, seperti bintang-bintang yang berarak mengantarkan harap. Tembang tentang masa depan yang indah sebagai pengantar tidur cucu-nya. Lagu itu menelisik malam diantara pohon ace dan durian di halaman rumah yang tidak seberapa luas. Sesaat keheningan terusik lirih suaranya, seperti rapalan mantera.
Aku mengambil secarik kertas dan sebuah pena,
Aku ingin menulis surat.” batinku.
***
Aku tulis surat ini jauh di tempat yang hampir terlupakan, Trisobo, Kendal. Kau pasti tahu, tanah di Trisobo mayoritas adalah perkebunan karet milik perusahaan pemegang HGU dan hutan yang dikuasai oleh Perhutani dengan luas 539,185 hektar.
Ingatkah Kau padaku? Aku Minah, Aku bukanlah “orang kota” yang gemar membaca buku untuk memiliki kesadaran akan penindasan. Aku perempuan, anak petani tidak bertanah! Aku hanyalah perempuan yang lugu penuh rasa ingin tau, berkulit merah terbakar matahari, karena membantu bapak menggarap tanah milik orang.
Waktu itu, sekitar antara tahun 1998 – 1999, perusahaan perkebunan menebangi pohon–pohon karet yang sudah tua dengan alasan replanting. Aku masih ingat pagi itu, tanggal 17 April 2000, sekitar jam 10.30 WIB, bapak-bapak membawa cangkul, pun dengan ibu dan anak-anak membawa peralatan semampunya dan mulai menanami lahan bekas pohon-pohon karet itu dengan pohon ketela dan pisang.
Kata orang-orang yang simpati kepada Kami, itu adalah reclaiming. Kata perusahaan, Kami melakukan penyerobotan tanah. Kami tidak peduli apa istilahnya, kami hanya ingin menggarap tanah.
Meskipun Aku terlalu kecil untuk paham bagaimana wajah kekuasaan, tetapi Aku-lah penyaksi ketika huma di ladang terbakar, pohon ketela direbahkan dan pohon Kami bertumbangan ditebas di tahun 2008. Ketika bapak dan yang lain berusaha mempertahankan pokok-pokok tanaman itu Aku juga penyaksi, mereka ditangkap! Semua hanya untuk kekalnya pohon-pohon karet.


Sementara, sayup-sayup di radio, Aku mendengar  MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyebutkan empat permasalahan pokok agraria di Indonesia, yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan, inkonsistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam. Dari radio pula, Aku mendengar janji presiden SBY melaksanakan agenda “reforma agraria” dalam pidato tahunan pada tanggal 31 Januari 2007. Sempat melambungkan harap, namun janji tinggalah janji.
Kerinduanku padamu mengalahkan segalanya, meskipun orang-orang yang datang dari kota. Orang-orang simpati yang bersilat demi Kami di antara rimba hukum, Aku tak peduli. Karena hukum bagi Kami telah berubah berwajah menjadi polisi, para preman dan penjara. Mengerikan!
***
Minah, sudah malam, lekas tidur, besok pagi kita harus menyiangi rumput di ladang pak manten.” ucap Bapakku.
Sebentar lagi pak.” jawabku.
Malam ini, teramat dingin, adik-adikku menggeliat kedinginan. Kami hanya punya kain lusuh yang pernah mengendong generasi demi generasi sebagai pembungkusnya.
kenapa api membakar huma di ladang Kami?”
”menjadi mimpi buruk yang tak pernah usai."
”Mengapa ibu dan bapak mesti diusir?”
”Tuhan, Aku tulis surat ini, berharap sampai padamu.” batinku sembari merapatkan tubuhku di samping adik-adikku [.]






Trisobo, 10 April 2013


Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. "Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Kontak
Erwin
By Request
Nusantara