Catatan

image

Tentang

Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. Petra adalah batu dan ichor artinya darah para dewa. Karena alasan itu-lah, blog ini bernama "Petrichor".

"Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.


Pendidikan
Unika Soegijapranata

Magister Lingkungan dan Perkotaan

Universitas Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum


Pekerjaan
2013 - sekarang, Perkumpulan HuMa Indonesia

Analisa Hukum dan Data

2008 - 2012, LBH Semarang

Pengabdi Bantuan Hukum


Keahlian
Analisa Hukum
Fasilitator
Pendaki Gunung
Blog

Enam Belas Orang Itu (bagian 2)


Ali Nugroho;
Desi Handayani;
Elva Kurnia Dewi;
Erslan Abdilah;
Erwin Dwi Kristianto;
Fietta Anggita;
Johanes Mario Handojo Moek;
Maryati;
Mochammad Umaryaji;
Purwadi Teguh;
Ranto Suprapto;
Riana Kusumawati;
Ronald Sianipar;
Taufan Syarief Abdilah;
Wahyu Retnaningtyas Utami;
Yudaning Tyassari;

Siapa-pun pasti akan bergetar bila ada di pantai selatan pagi itu. Mungkin karena dinginnya hempasan ombak yang menyapu sebatas dada. Mungkin juga, karena mendengar teriakan dari Kang Untung memanggil nama-nama itu.

disclaimer: ini adalah foto angkatan TP, bukan angkatan TBa

Barisan slayer merah sudah berbaris menghadap bendera merah putih dan bendera organisasi. Sepuluh meter di hadapannya berbaris enambelas siswa menggunakan slayer biru. Terlihat kulit-kulit pengguna slayer biru memerah, mengelupas, berganti dengan kulit yang baru, membentuk keropeng. Walaupun warna slayer berbeda, walaupun posisi kami berbeda, tapi kami menghormati panji yang sama: panji kebesaran organisasi.

Satu-persatu dari nama itu maju ke depan. Mencium panji kebesaran, melepas slayer biru dan kemudian mengencangkan ikatan slayer merah yang disematkan oleh Kang Untung. Ya, pagi itu, saat matahari masih belum tinggi, Kang Untung memimpin upacara yang dilakukan setahun sekali oleh oraganisasi. Upacara pelantikan anggota muda.

***

Dua puluh empat jam sebelumnya. Keenam belas orang itu sedang mendaki bukit karst Gombong. Berjalan menelusuri pepohonan jati menuju sebuah tebing. Kanopi pepohonan jati itu tidak cukup untuk melindungi lintasan yang kami lalui dari sengatan matahari yang mulai meninggi.

Dari kejauhan, nampak enam belas slayer berwarna merah sudah terpasang di tebing itu. Slayer merah adalah simbol keanggotaan di organisasi. Keenam belas orang itu harus mengambilnya. Membutuhkan waktu selama matahari bersinar untuk keenam belas orang itu berhasil mengambil slayer yang terpasang di tebing itu.

Kami sudah mendaki dan menuruni gunung. Menjelajahi hutan dan lembah. Kami sudah menelusuri pantai.  Dan seharian ini kami sudah mencumbui tebing. Pungkas? Ternyata belum.

***

“Nama yang kalian usulkan bombastis!” kata Mbak Tessi.

“Silakan ke bivak kalian, pikirkan lagi!” sambung Kang Untung singkat.

Sepuluh jam sebelumnya. Keenam belas orang itu duduk melingkar dengan wajah kuyu. Nama yang meraka usulkan sebagai nama angkatan ditolak. Penolakan –dan perut yang hanya terisi daging kelapa- membuat kami semakin kuyu.

Sunyi. Masing-masing dari kami larut dalam pikiran masing-masing.

“Bagaimana kalau namanya Tirta Bhaskara?” Ira, panggilan akrab Wahyu Retnaningtyas Utami memecah kesunyian.

“Tirta Bhaskara?” gumam kami.

“Apa artinya?” kata Ronald dan Desi serempak. Mereka berasal dari luar Jawa, sehingga –mungkin- tidak memahami artinya.

Dan, diskusi-pun berlanjut.

***

Empat belas tahun kemudian. Sepuluh hari menjelang 2 Mei 2015, hari kelahiran HMPA Yudhistira. Organisasi yang menyatukan keenambelas orang itu. Sontak ingatanku berputar ke sekian tahun lalu. Mengingat peristiwa di pantai selatan itu. Sampai hari ini, Aku meyakini, orang-orang yang dilahirkan di PDY kala itu akan –dan telah-  menjadi orang-orang yang tabah dan tangguh menghadapi berbagai persoalan.

Aku bangga sudah mengenal mereka. Bukan karena beberapa sudah menjadi ahli di kepakarannya. Bukan karena beberapa sudah menjadi pegawai terbaik di bidangnya. Bukan pula karena beberapa dari mereka sudah menempuh gelar magister. Bangga karena aku adalah bagian dari enam belas orang itu [.]





__________
Tulisan ini adalah bagian kedua. Ditulis untuk memperingati hari lahir HMPA Yudhistira.

Terimakasih pada Black Diamond Distance FL




Setelah hanya makan mie instan selama sebulan. Setelah merelakan tidak tergoda menonton Dian Sasto atau Chelsea Islan, dll di bioskop. Akhirnya, Aku bisa membeli Black Diamond distance FL. Hari itu sebuah paket sampai di alamat tempatku bekerja. OB kemudian mengantarnya ke mejaku. Selepas mengucapkan terimakasih, Aku segera membuka paket itu.

Rekan kerja yang kebetulan satu ruangan melihat isi paket itu.  Ia lalu berkomentar.

"beli tongsis?"

"Sembarangan, trekking pole's kaliiiii"

Haaah! Kamu sudah seperti pendaki berumur aja! memakai trekking pole’s?” spontan temanku berkomentar ketika Aku menjelaskan isi paket kiriman hari itu.

***

Trekking pole’s memang bukan belum menjadi kebutuhan primer dalam sebuah perjalanan alam bebas. Alih-alih primer, sekunder-pun tidak. Padahal, trekking pole’s konon dapat mengurangi beban di lutut kaki hingga 30%. Nah, apakah modal utama perjalanan alam bebas? Kaki kan?

Selain itu, ada delapan manfaat trekking pole's versi sebuah laman yang ditulis oleh Hendri Agustin. Kedelapan manfaat itu adalah: Pertama, memberikan keseimbangan tambahan di jalur pendakian; Kedua, sebagai penopang saat tanjakan dan turunan; Ketiga, meningkatkan kecepatan; Keempat, mengurangi impak pada kaki, Kelima, membakar lebih banyak kalori; Keenam, mengurangi bobot yang dibawa; Ketujuh, mengatur pace; dan kedelapan, banyak digunakan pada kegiatan non hiking.

***

Aku memakai Black Diamond distance FL ukuran 95-110 cm. Pole’s ini hanya memiliki fleksibilitas hingga 15 cm untuk masing-masing ukurannya. Ada tiga ukuran berdasarkan ketinggian pemakainya. Jadi, perlu dengan cermat memilih ukutan yang tepat. 

Pole's ini mempunyai desain Z-pole. Desain Z-pole membuatnya dapat dilipat menjadi ukuran yang kompak. Pole’s ini packable. Aku tidak perlu menaruhnya di luar carrier, tapi bisa memasukkannya ke dalam carrier. Oya, sedari dulu, Aku tidak suka peralatan bergelantungan luar di carrier.


 

Di dalamnya terdapat kabel internal yang mengingatkanku pada cara kerja frame tenda. Kabel internal itu berlapis karet yang mengkerucut pada titik koneksi. Hanya dengan menarik bagian ujung atas hingga tombol terkunci, otomatis akan meluruskan dan menyambung ketiga bilahnya. Cepat dan mudah. 

Setelah tiga bilah itu lurus dan tersambung, selanjutnya adalah menyesuaikan panjang pole’s. Menggunakan teknologi FlickLock, Aku dapat menyesuaikan panjang dan mengunci dengan sederhana dan mudah.







Untuk bagian handle, menurutku sangat sederhana, namun tetap nyaman. Di ujungnya ada semacam tali. Ada keterangan L dan R di masing-masing pole's, sehingga tidak akan tertukar ketika memakainya.

***

Manfaat yang diperoleh dari trekking pole's ini lebih banyak dari kekurangannya. Lututku akan berterimakasih padanya [.]






__________
Tulisan ini bukan posting berbayar.


Kontak
Erwin
By Request
Nusantara