Ali Nugroho;
Desi Handayani;
Elva Kurnia Dewi;
Erslan Abdilah;
Erwin Dwi Kristianto;
Fietta Anggita;
Johanes Mario Handojo Moek;
Maryati;
Mochammad Umaryaji;
Purwadi Teguh;
Ranto Suprapto;
Riana Kusumawati;
Ronald Sianipar;
Taufan Syarief Abdilah;
Wahyu Retnaningtyas Utami;
Yudaning Tyassari;
Siapa-pun pasti akan bergetar bila ada di pantai selatan pagi itu. Mungkin karena dinginnya hempasan ombak yang menyapu sebatas dada. Mungkin juga, karena mendengar teriakan dari Kang Untung memanggil nama-nama itu.
Barisan slayer merah sudah berbaris menghadap bendera merah putih dan bendera organisasi. Sepuluh meter di hadapannya berbaris enambelas siswa menggunakan slayer biru. Terlihat kulit-kulit pengguna slayer biru memerah, mengelupas, berganti dengan kulit yang baru, membentuk keropeng. Walaupun warna slayer berbeda, walaupun posisi kami berbeda, tapi kami menghormati panji yang sama: panji kebesaran organisasi.
Satu-persatu dari nama itu maju ke depan. Mencium panji kebesaran, melepas slayer biru dan kemudian mengencangkan ikatan slayer merah yang disematkan oleh Kang Untung. Ya, pagi itu, saat matahari masih belum tinggi, Kang Untung memimpin upacara yang dilakukan setahun sekali oleh oraganisasi. Upacara pelantikan anggota muda.
***
Dua puluh empat jam sebelumnya. Keenam belas orang itu sedang mendaki bukit karst Gombong. Berjalan menelusuri pepohonan jati menuju sebuah tebing. Kanopi pepohonan jati itu tidak cukup untuk melindungi lintasan yang kami lalui dari sengatan matahari yang mulai meninggi.
Dari kejauhan, nampak enam belas slayer berwarna merah sudah terpasang di tebing itu. Slayer merah adalah simbol keanggotaan di organisasi. Keenam belas orang itu harus mengambilnya. Membutuhkan waktu selama matahari bersinar untuk keenam belas orang itu berhasil mengambil slayer yang terpasang di tebing itu.
Kami sudah mendaki dan menuruni gunung. Menjelajahi hutan dan lembah. Kami sudah menelusuri pantai. Dan seharian ini kami sudah mencumbui tebing. Pungkas? Ternyata belum.
***
“Nama yang kalian usulkan bombastis!” kata Mbak Tessi.
“Silakan ke bivak kalian, pikirkan lagi!” sambung Kang Untung singkat.
Sepuluh jam sebelumnya. Keenam belas orang itu duduk melingkar dengan wajah kuyu. Nama yang meraka usulkan sebagai nama angkatan ditolak. Penolakan –dan perut yang hanya terisi daging kelapa- membuat kami semakin kuyu.
Sunyi. Masing-masing dari kami larut dalam pikiran masing-masing.
“Bagaimana kalau namanya Tirta Bhaskara?” Ira, panggilan akrab Wahyu Retnaningtyas Utami memecah kesunyian.
“Tirta Bhaskara?” gumam kami.
“Apa artinya?” kata Ronald dan Desi serempak. Mereka berasal dari luar Jawa, sehingga –mungkin- tidak memahami artinya.
Dan, diskusi-pun berlanjut.
***
Empat belas tahun kemudian. Sepuluh hari menjelang 2 Mei 2015, hari kelahiran HMPA Yudhistira. Organisasi yang menyatukan keenambelas orang itu. Sontak ingatanku berputar ke sekian tahun lalu. Mengingat peristiwa di pantai selatan itu. Sampai hari ini, Aku meyakini, orang-orang yang dilahirkan di PDY kala itu akan –dan telah- menjadi orang-orang yang tabah dan tangguh menghadapi berbagai persoalan.
Aku bangga sudah mengenal mereka. Bukan karena beberapa sudah menjadi ahli di kepakarannya. Bukan karena beberapa sudah menjadi pegawai terbaik di bidangnya. Bukan pula karena beberapa dari mereka sudah menempuh gelar magister. Bangga karena aku adalah bagian dari enam belas orang itu [.]
__________