Catatan

image

Tentang

Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. Petra adalah batu dan ichor artinya darah para dewa. Karena alasan itu-lah, blog ini bernama "Petrichor".

"Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.


Pendidikan
Unika Soegijapranata

Magister Lingkungan dan Perkotaan

Universitas Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum


Pekerjaan
2013 - sekarang, Perkumpulan HuMa Indonesia

Analisa Hukum dan Data

2008 - 2012, LBH Semarang

Pengabdi Bantuan Hukum


Keahlian
Analisa Hukum
Fasilitator
Pendaki Gunung
Blog

Santap Siang di Rumah Blandong Randublatung


Moggo kopi leletnya.”

Matur nuwun, Bu.” Aku mengucapkan terimakasih seraya menyalakan sebatang kretek.

Sembari meminumnya, Aku-pun mengajak Ibu itu berbincang. Sekedar mencairkan suasana

Randublatung masih jauh, Bu?

Wah, masih jauh Mas. Satu jam lagi kalau naik motor. Tapi kalau sudah malam seperti ini, tidak ada kendaraan lagi. Mas mau ke sana?

Iya Bu. Wah, kalau sudah tidak ada kendaraan, lalu bagaimana baiknya ya?

Mas tidur saja di Masjid itu, besok pagi baru cari kendaraan ke Randublatung.

Terimakasih Bu.”

Dan Aku-pun menghisap kretek semakin dalam.

***

Randubatung -desa yang menjadi tujuanku- merupakan daerah berkapur di Kabupaten Blora. Hutan-hutan jati mengelilingi penjuru wilayahnya. Wilayah ini adalah bagian dari Pegunungan karst Kendeng Utara. Kawasan karst ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati (bagian selatan), Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro (bagian utara) dan Lamongan (bagian barat).

Sumber gambar: di sini

Dari segi struktur tanah, daerah ini didominasi tanah kapur yang terbentuk dari proses panjang pelapukan batuan gamping. Tepatnya, jenis tanah di daerah ini adalah mediteran, yaitu campuran dari proses pelapukan batuan gamping dan batuan sedimen. Warna tanah jenis ini adalah kemerahan sampai coklat. Meski tanah mediteran kurang subur untuk pertanian, namun jenis ini amat cocok untuk tanaman-tanaman tertentu seperti palawija, tembakau, jambu mete dan, termasuk juga: pohon jati!

Sumber gambar: di sini

Pohon jati -tectona grandis sp. dalam istilah latin- tumbuh dengan ideal pada tanah yang mengandung banyak kapur dan fosfor, memiliki kadar keasaman rendah (basa), dan tidak banyak tergenang air. Semua syarat itu ditemukan dengan baik di Randublatung. 

Pohon jati tumbuh subur di Randublatung. Kondisi itu membuat (hampir) seluruh fragmen kehidupan di Randublatung tidak lepas dari Pohon Jati.

***

Mba Nik akan memasak sayur lodeh pagi itu. Mba Nik memulainya dengan memarut cikalan kelapa tua. Aku dan anak Mba Nik yang paling kecil juga kebagian tugas. Tugas kami: membersihkan panci dan mususi beras di belik pinggir sungai.

“Nang, tadi bapak berangkat jam berapa?” tanyaku di belik.

“Selepas sholat subuh Mas. Mas tadi masih tidur.”

“Bapak kemana?”

“Mblandong Mas. Mencari rencek kayu jati untuk masak.”

“Mblandong?”
batinku.

***

Masyarakat Blora memanfaatkan hutan secara leluasa dan berpindah-pindah sebelum kedatangan VOC di Jawa. Mereka dikenal sebagai orang Kalang yang keahliannya adalah menebang kayu. Masuknya VOC mulai membatasi akses orang-orang Kalang untuk memanfaatkan hutan. VOC ingin merebut penguasaan atas kayu hutan yang ada di Jawa -terutama jati- untuk membangun kapal-kapal perang dan angkutan hasil bumi ke Eropa.

VOC mempekerjakan orang Kalang sebagai buruh penebang kayu dengan upah rendah. Buruh penebang kayu dengan upah rendah disebut dengan blandong.


Namun, istilah blandong sudah mengalami perubahan. Dari makna “buruh penebang kayu” saat masa VOC menjadi “pencuri kayu” saat ini.

Sumber gambar: di sini

Makna blandong berubah, namun pola pengelolaan hutan jati masih dipertahankan dari masa VOC ke masa kini. Saat ini, hutan jati dikelola oleh Perhutani. Kawasan hutan jati yang dikelola oleh Perhutani seluas 49.118% wilayah Kabupaten Blora.

***

Tidak ada yang bisa aku lakukan ketika Mba Nik mulai menyalakan rencek di pawon memasak. Dapur adalah wilayah kekuasaannya. Aku-pun memutuskan untuk beranjak menemani dengan Mas Lik –suami Mba Nik– yang sudah pulang dari hutan. Belum sempat Aku menyapa, Mas Lik berucap.

Mas, orang kota enak ya?

Aku kaget mendengarnya. “Kenapa Mas?

Iya, kerjanya enak. Ndak khawatir ditembak."


"Mas tau? Tahun 1998, Perhutani nembak dua orang warga yang ngerencek di hutan. 

"Mereka dituduh Perhutani sebagai pencuri."
 

Siapa Mas?”, tanyaku.

Teman Saya Mas Darsit dan Rebo. Ndak cuma tahun itu, tahun 2000 Djani mati ditembak Polisi Hutan yang sedang melakukan operasi pengamanan hutan."


"Padahal Djani ndak nyuri kayu. Kesalahan dia, dia pergi ke sawah membawa cangkul.

Mas, makanan sudah siap!” teriak Mba Nik dari dapur, memotong obrolan kami.

***

Nasi panas sudah tersaji di wakul bambu yang sudah diberi alas daun jati. Nasi itu memiliki rasa dan aroma yang lebih nikmat karena dituangkan panas-panas di atas daun jati. Sayur lodeh tersaji di rantang blirik. Sambel trasi menjadi teman nasi dan sayur lodeh itu. 

Seluruh masakan yang kami santap siang hari itu dimasak dengan menggunakan rencek dari hutan. Rencek yang menurut Pehutani dicuri dari hutan jati oleh blandong Randublatung [.]

22 Januari 2009



Penanggalan berlari ke angka 22 Januari 2009. Seorang renta meringkuk tak berdaya di truk yang mengangkutnya ke Pati. Ia bersama delapan petani lainnya. Darah terus-menerus mengalir dari luka. Wajah keriputnya memar, nyaris bonyok. 

Segerombolan aparat berbaju coklat tak berusaha menolong, malah mempermainkannya bagai seonggok sampah bau yang pantas ditinju dan ditendang. Setiap saat gerombolan itu mengambil kesempatan untuk menonjok wajahnya. Sebelum berada di truk itu, Ia sudah disiksa. Ia dipukuli! Rekannya mengalami hal yang sama. Dilempari, diinjak-injak, dipukuli dan diseret ke truk.

***

Apa yang akan terjadi besok? Rasanya seperti merenungi anak sungai. Bermula pada mata air, menyalurkan rembesan air dari celah bukit kapur, menyusup di celah-celah bebatuan, dan membelah hutan jati, menuruni lereng, membentuk Sungai Juwana. Tiba-tiba sudah bermuara di Laut Utara Jawa. Tak terjangkau oleh perhitungan angka, juga waktu. Tak tergambarkan, tak tertangkap oleh insting-insting peradaban yang menghidupkan nalar. Begitulah saat badan tua ini dikurung dalam sel penjara.

Jangankan yang akan terjadi besok, yang akan terjadi detik berikutnya tak bisa diketahui. Pada detik-detik mendatang yang menimpali detak jantung dalam tarikan napas, adalah ketidaktahuan, kegamangan, dan ketidakpastian


Aku tidak tahu! Aku hanya berputar dan diputar oleh waktu. Begitu terbatasnya jangkauan, bukan hanya karena berada di dalam sel, tapi lebih-lebih karena dikurung dalam keterpencilan oleh kekuasaan tunggal. 

Apa yang akan terjadi besok?” 

Malam hening. Gelap. Tanpa kepastian. Tak terdengar suara gesekan batang-batang jati yang dimainkan angin di halaman.

Tiba-tiba terdengar gemerincing kunci beradu rantai. Pintu blok dibuka. Kupejamkan mata seperti orang tidur. Tapi aku mengintip dari celah kelopak mata. Tok… tok… tok… Suara derap sepatu. 

Makin mendekat. Berhenti. 

"Sel siapa yang dilongoknya?"

Kembali terdengar derap langkah. Mendekat. Makin mendekat seperti berjalan di lubang kupingku. Dia berdiri di depan pintu selku. Matanya menembus ke dalam sel. Aku menahan napas.

***
 
Setibanya di Pati, kembali tuduhan dan siksaan kesekian yang mereka terima. Dalam setiap sesi interogasi aparat berbaju coklat selalu meneriakkan pertanyaan yang sama:

Kamu merusak! Mengaku!

Kamu provokator kan?” 

Sebelum mulutnya terbuka, kaki dan bogem menghantamnya. Berdarah-darah sudah bukan peristiwa aneh. 

Ayo jawab!!

Delapan orang lainnya mengalami hal yang sama. Bahkan seorang pemuda tanggung diancam akan ditembak dengan menggunakan pistol.

***

Siapkan diri!” perintahnya.

Siapkan semua barang. Pindah!” suaranya, memancing kegelisahan.

Ke mana?

Tunggu saja.


Selama menunggu diberangkatkan, aku duduk tercenung, sepintas masih mengharapkan kedatangan dulur-dulur-ku. Aku gelisah. Khawatir dulur-dulur-ku tidak mengetahui kepindahanku.

Aku memanggil seorang pemuda tanggung. Jari-jariku terasa gatal. Namun aku tidak bisa menulis. Ada kekuatan yang bangkit dalam tubuhku. Aku seperti mendengar suara puisi. Aku mendengar suara sapaannya. Aku digetarkannya. Aku tidak butuh makan, tidak butuh minum. Aku hanya perlu pensil dan secarik kertas. Menyampaikan pesan:


Alesan aku nolak pabrik nang Sukolilo karena sawah aku mung kuwe walaupun mung sitik tapi iso kanggo ncukupi pangan keluarga aku nganti saiki. Aku ora setuju nek ono pabrik semen nang Sukolilo! mung gawe bencana! Pas kedadean 22 Januari 2009 aku seko sawah. Pas liwat aku dikongkon mandeg karo wargo: “Mbah, ora usah muleh ning kene wae ngenteni Pak Lurah teko rene” trus aku ra sido bali, pengin ngerti sing dikondho karo Pak Lurah. Pas waktu rame - rame aku ditangkep lan diantemi entek -entekan lan digowo neng truk polisi. Wektu aku disidik di Polres Pati aku yo diantemi karo ditekan..!! Kok sing salah ora dihukum malah sing ora nglakoni opo-opo dihukum. Wong wargo ora pengen adol sawah kok dipekso kon adol. Nek ora adol arep dikeruk. aku pengen adil seadil-adile…!”

Suara peluit terdengar melengking, menikam keheningan dan memutus komat-kamitku. Kami digiring ke truk yang siap mengantar ke ibukota Jawa Tengah [.]





Lereng karst, Agustus 2009


Terjaga Karena Kondensasi


Lereng Gunung Semeru sore itu. Suasana beranjak gelap. Duabelas orang sedang beristirahat sembari menyantap camilan. Beberapa anggota tim mulai memakai outer layer-nya karena suhu mulai turun drastis.

Dari situ, tim terpisah menjadi dua rombongan. Pesannya jelas, flying camp pertama di camping ground pertama Ranu Kumbolo. Pembawa tenda tim berjalan di rombongan pertama. Mereka akan bertugas mendirikan flying camp. Rombongan itu berjumlah tujuh orang. Rombongan lainnya berjumlah lima orang berada di belakang. Aku tergabung di rombongan kedua, karena -seperti biasa- Aku lebih suka berjalan di belakang.

Perjalanan kali ini tidak sesuai dengan rencana. Seharusnya, Kami sudah sampai di Ranu Kumbolo pada pukul 17.00. Namun, karena tidak disiplin dengan waktu, tim baru bergerak dari Ranu Pani pada pukul 15.00. Terlambat.

***

Jalur landai mendominasi dari Ranu Pani ke pos satu. Awal-awal berjalan, pendaki akan melewati ladang penduduk dan berganti dengan jalan makadam yang mulai tertutup ilalang. Normalnya, dari Ranu Pani ke pos satu membutuhkan waktu 1 - 2 jam. Dari pos satu menuju pos dua, kontur jalannya berupa tanah yang cukup nyaman ketimbang makadam. Menjadi tidak nyaman, karena pada saat musim kering, jalur itu berdebu. Gunakan penutup hidung. Dari pos sat ke pos dua butuh waktu sekitar 1 - 1,5 jam.

Perjalanan menuju pos tiga mulai memerlukan tenaga ekstra. Butuh waktu sekitar 1 - 1,5 jam menit untuk menuju pos tiga dari pos dua. Dari Pos tiga ke Pos empat, dapat ditempuh dengan waktu normal 1 - 2 jam. Jalur berdebu dan ada beberapa titik rawan longsor. Dari pos empat, pendaki bisa melihat Ranu Kumbolo. Tinggal mengikuti jalan setapak sekitar 15 menit dari pos empat, pendaki sudah sampai di tepi danau Ranu Kumbolo.

***

Aku yakin, tidak ada yang benar-benar tahu kapan bertemu situasi buruk di atas gunung. Bahkan ketika pendaki sudah mempersiapkan dengan sangat matang.

Sudah dua jam matahari turun dari puncak. Gelap berkuasa, yang terasa menenggelamkan. Dengan dibantu sinar head lamp, rombongan kedua berjalan pelan. Selangkah demi langkah. Melewati jalur selepas pos dua.

Seorang anggota rombongan tampak kepayahan. Langkahnya makin lelah, ditambah ransel yang menurutnya berat. Setiap napas bertambah berharga. Semangatnya meredup. Dia-pun menjatuhkan diri. Duduk dengan ransel masih di punggung. Lututnya gemetar lemas. Jantung berdenyar, berirama 'tak beraturan. Telapak tangan dan ujung kaki berkeringat dingin. Matanya mulai memejam.

Suara binatang malam jadi menakutkan, wingit, jauh tersamar. Gesekan daun-daun bersuara misteri, membentuk bayang-bayang mengagetkan. Kondisi tempat itu tidak ideal. Dari pengalamanku, mata memejam kemudian tidur dalam kondisi seperti itu hanya akan berujung kematian. Hipotermia penyebabnya.

Aku melakukan orientasi medan. Dari tanda-tanda medan, Aku tahu pos tiga tidak jauh lagi. Paling lama 30 menit berjalan dalam kondisi kepayahan. "Rombongan harus bergerak." batinku.

Dengan paksaan, akhirnya rombongan bergerak. 'Tak lama, rombongan sampai pos tiga. Aku mengeluarkan Trangia dan memasak air. Seorang teman lainnya kuminta menjaga anggota rombongan yang sudah kepayahan. Memastikan dia tidak tertidur.

Beberapa cangkir coklat hangat siap. Segera kubagikan kepada rombongan. Saat itu baru kusadari anggota rombongan yang kepayahan mulai meracau. Badannya bergetar. Menggigil. "Aku ditinggal saja." katanya.

Aku bergegas mengambil emergency blanket yang ada di dalam survival kit. Dengan emergency blanket dan coklat hangat, tubuhnya berangsur normal. Situasi membaik.

"Jadi, kita lanjutkan perjalanan jam berapa?" seorang kawan membuka percakapan.

"Sepertinya tidak mungkin. lihat saja, kondisinya sudah kepayahan." jawabku.

"Tapi target kita hari ini Ranu Kumbolo"

"Kalian masih kuat berjalan? Silakan lanjut, Aku tinggal menemaninya disini"

"Tapi rombongan ini tidak ada tenda"

"Ada fly sheet!" Potongku.

Hening.

Akhirnya rombongan memutuskan mendirikan bivak di pos tiga. Sebuah tarp tent dari selembar fly sheet 4x4 berdiri. Setelah makan malam, matras tidur digelar. Sebagian sudah masuk ke dalam tarp tent, dan mulai mengeluarkan sleeping bag.

"Tidak cukup menampung lima orang." batinku.

***

Memang masih ada selembar fly sheet lagi. Namun tidak cukup tempat untuk mendirikan tarp tent kedua. Ah, tidur beratap langit (lagi). Sontak ingatanku melayang ke pendakian Gunung Sumbing bersama Ade Nana. Saat itu Kami tersesat beberapa punggungan dari jalur. Tidak ada tempat ideal untuk mendirikan tenda, sehingga Kami memutuskan tidur beratap langit. Sebagai penghalau dingin, adalah selimut dari fly sheet

Akhirnya, Aku dan seorang kawan tidur di luar tarp tent. setelah menggunakan sleeping bag, fly sheet Kami pergunakan sebagai selimut. Dingin-pun terusir. Kami mulai terlelap.

Sekira jam 02.00 dini hari, Aku terbangun. Aku merasa ada yang aneh. Kakiku basah. Padahal tidak hujan. Kabut dan embun-pun belum turun. Arrrrrrgh! Aku melupakan pelajaran dasar dalam IPA. Kondensasi!

***

Ketika tidur di malam hari, badan manusia mengeluarkan uap air lewat hembusan nafas. Uap air yang dihembuskan selama semalam setara dengan satu liter air.

Fly sheet terbuat dari bahan water proof dan umumnya tidak breathable. Bahan itu menahan uap air dan bereaksi dengan suhu dingin di luar fly sheet. Akibatnya, uap air tidak bisa keluar dan membentuk tetes-tetes air yang akhirnya jatuh.

 Sumber gambar: di sini

Menyimpan pakaian basah, peralatan basah, atau memasak di dalam tenda juga menambah kontribusi terjadinya kondensasi. Termasuk mendirikan tenda di daerah lembab. Tidak ada angin pada malam hari juga menjadi faktor penambah kondensasi.

***

Sisa malam kulewati dengan tidak nyaman. Sebagian badan basah oleh air hasil dari kondensasi. Tubuh bergetar. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Terjaga sepanjang sisa gelap. Hanya berharap, matahari segera terbit dan berjemur di bawah sinarnya [.]


Tortilla di Ranu Kumbolo



"Pisang niki pinten Bu?", tanyaku kepada seorang Ibu di Pasar Tumpang, Malang.

"Rong puluh ewu Mas, murah to?", jawab Ibu itu pelan.

"Kabeh podo regone?"

"Njih Mas."

Aku-pun memilih satu sisir pisang raja yang paling besar. Tidak mungkin mendapatkannya dengan harga Rp 20.000,00 di Pasar Minggu, Jakarta. Sempat terlintas di benakku, bagaimana cara membawanya. Tapi pikiran itu kupendam saja. Paket yang menyertakan pisang
-sependek ingatanku- bukan menjadi beban bawaanku. Ternyata itu salah.

***

Aku dan sebelas kawan melakukan pendakian ke Gunung Semeru, via Ranu Pani, Jawa Timur. Tidak ada alasan khusus, hanya sekedar refreshing. Beberapa minggu menjelang hari H, tim sudah mempersiapkan segala peralatan yang akan dibawa, termasuk paket logistik. Tim juga mulai membagi tanggung jawab. Aku memilih bertanggung jawab terhadap logistik.

Aku memilih tanggung jawab itu karena menyukai kegiatan memasak di gunung. Malahan, menurutku memasak di atas gunung sama asyiknya dengan pendakian gunung itu sendiri. Sudah tidak sabar menunggu moment-moment itu.

Aku seolah ditantang menyiapkan makanan pada udara yang dingin, dengan peralatan seadanya dan dalam kondisi tubuh lelah. Puas rasanya jika bisa menghadirkan masakan bergizi buat diri sendiri dan kawan. Bukan hanya sekedar mie instan. Menurutku, sudah sepantasnya tubuh ini mendapatkan kenikmatan rasa setelah seharian dipaksa untuk bekerja keras mendaki.

Salah satu menu yang kubuat adalah tortilla isi daging ham dengan saus cabai. Ada juga pilihan lain: tortilla isi pisang dengan saus madu dan/atau coklat. Pemilihan menu ini berdasarkan beberapa pertimbangan: kandungan kalori dan nutrisi, kemudahan dalam mengolah, lama perjalanan, kepraktisan pengemasan dan karekteristik Gunung Semeru. 

Untuk kandungan kalori dan nutrisi, makanan yang dikonsumsi sebaiknya tidak sekedar mengenyangkan. Sebaiknya justru menghindari makanan dengan kadar karbohidrat tinggi seperti nasi. Tubuh manusia membutuhkan waktu enam jam untuk mengolah nasi menjadi energi. Pilih-lah makanan dengan kadar protein tinggi. Tortilla beserta isinya adalah pilihan yang tepat.

***

Tim mulai melakukan packing ulang di Ranu Pani. Semua peralatan dan logistik sudah masuk. Kecuali pisang. Loh kok bisa!? Pisang tidak masuk. Aku tersadar, ternyata salah satu anggota tim yang seharusnya membawa pisang itu batal ikut pada H-1. Mau tidak mau aku harus membawa pisang itu. Pisang itu sungguh merusak kadar penampilan renselku. Arrrrrrgh!!!


Pagi itu di Ranu Kumbolo. Maka dimulai-lah “pesta” itu. Setelah menikmati secangkir teh, kami memulai menyiapkan sarapan. Dua Trangia disiapkan sekaligus. 


Cara membuatnya sangat mudah dan cepat. Pertama, panggang daging ham. Kedua, atur daging ham beserta bumbu di atas tortilla. Atur juga pisang, meses dan madu di atas tortila. Lalu gulung atau lipat. Ketiga, panaskan margarine di atas Trangia. Keempat, panggang hingga kecoklatan dan matang.  

Menu pagi itu sudah siap. Secangkir coklat susu menjadi teman sarapan pagi itu [.]


Berghaus Freeflow® 30 untuk Mendaki Gunung Semeru



Sekarang aku hanya bisa melakukan perjalanan di alam bebas selama satu sampai tiga hari operasional saja. Dulu, seminggu atau lebih perjalanan masih memungkinkan. Karena itu, aku hanya membutuhkan ransel berukuran kecil.

Berbagai merk lokal sudah pernah kucoba. Dari Alpina, Tengger hingga Eiger. Tas-tas itu sangat nyaman. Beberapa masih kusimpan di kontainer plastik. Sepertinya saatnya mencoba ransel merk luar.


Pilihanku jatuk ke Berghaus Men's Adjustable Freeflow® 30 Rucksack. Ukuran 68 cm x 31 cm x 29 cm, cukup untuk kebutuhanku. Sementara, beratnya adalah 1.40 kg, belum masuk kategori ultralight. Namun masih cukup ringan, menurutku.  Aku memilih warna merah, agar matching dengan slayer dan base layer yang kumiliki. Etdaaaaaah!

 
Nama ransel ini sudah menjelaskan segalanya. Berturut-turut, ransel ini dibuat oleh pemegang merk yaitu Berghaus. Men’s, kalau mau tetap dijelaskan, artinya pria. Adjustable, artinya tas ini bisa diatur torso-nya. Mulai dari torso yang panjang hingga yang pendek. Pilihan ukuran torso-nya terdiri dari XL, L, M, S dan XS. XS adalah ukuran torso-ku.

Lalu sesuai dengan namanya Freeflow®, sistem di bagian belakang tas ini benar-benar “free flow”. Sirkulasi aliran udara di punggung sangat bagus. Membuat punggung tidak basah oleh keringat. Tetap kering dan nyaman. Terakhir, 30 itu merujuk pada kapasitasnya, 30 liter.



Ransel ini langsung saya coba untuk mendaki di Gunung Sundoro dan Gunung Semeru. Percobaan pertama di Gunung Sundoro tidak cukup mengukur kemampuan ransel ini., karena peralatan pendakian kala itu dibawa oleh adek-adek angkatan yang unyu-unyu.

Ransel ini baru teruji pada pendakian kedua di Gunung Semeru. Pendakian Gunung Semeru membutuhkan waktu normal tiga hari dua malam. Ransel satu compartment ini berkapasitas utama 30 liter, sehingga cukup untuk menampung semua peralatan dan logistik selama waktu pendakian itu.


Di bagian samping terdapat mesh pocket yang memudahkan pengguna untuk menyimpan barang-barang yang sering copot pakai selama perjalanan. Di mesh pocket, saya menyimpan trekking pole's.

Pada bagian tutup ransel, seperti umumnya ransel lainnya, terdapat ruang penyimpanan. Dan di bagian dalamnya terdapat hidden pocket yang berguna untuk menyimpan uang, kartu identitas, ponsel dan benda berharga  lainnya.



Aku cukup berkesan dengan ransel ini selama pendakian di Gunung Semeru. Ukurannya cukup pas untuk menampung peralatan dan logistik (termasuk air lima liter) selama mendaki tiga hari dua malam. Ransel ini terasa nyaman ketika berada di punggung. Base layer yang kupakai tidak basah sama sekali oleh keringat karena teknologi free flow. Ini penting terutama ketika pendakian di gunung-gunung yang bersuhu relatif dingin, seperti Semeru.


Siapa bilang ransel ukuran 30 tidak cukup memuat peralatan dan logistik untuk mendaki Gunung Semeru? [.]



__________
Tulisan ini bukan posting berbayar.

Di sela Posangke Junju: Belajar dari Tau Taa Wana




"Bung Erwin, bangun, kita sudah sampai.” ujar Amran, Direktur Yayasan Merah Putih - Palu, sembari menepuk pundakku.
  
“Kita sampai mana, Bung?” sahutku sambil mengucek mata.
“Kita baru sampai Kota Luwuk, kita beristirahat dulu, besok kita melanjutkan perjalanan ke Morowali.” kata Amran sembari mengambil daypack hitamnya.
 
Aku-pun bergegas mengambil daypack-ku dari kabin belakang mobil berpenggerak 4x4 itu. Waktu menunjukkan pukul 02.00 WITA. Sementara, kami berangkat dari Kota Palu pukul 09.00 WITA. Itu artinya, kami sudah menempuh jalan darat trans Sulawesi Tengah selama 17 jam.

“Istirahat-lah Bung, besok Kita masih harus berkendaraan lagi selama delapan jam menuju  Taronggo.” kata Amran sembari menarik retsleting sleeping bag-nya.

***

Desa Taranggo berada di  Kecamatan Bungku Utara, Morowali Utara. Morowali Utara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Morowali Utara merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Morowali yang disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 12 April 2013.

Desa Taronggo berpenduduk 318 jiwa dan berada di kaki bukit Pegunungan Tokala. Desa ini merupakan salah satu dari belasan desa di kecamatan Bungku Utara yang dihajar banjir bandang dan tanah longsor pada tahun 2007. Saat itu, sejumlah warga di desa ini dinyatakan hilang akibat banjir bandang.

Rombongan telah sampai di Desa Taranggo. Dari sini, sudah tidak ada lagi jalan yang bisa dilalui oleh mobil. Bahkan oleh mobil berpenggerak 4x4 yang kami tumpangi. Kami harus berjalan kaki melintas sungai dan mendaki lereng bukit di Pegunungan Tokala. Kami memutuskan untuk bermalam di Desa ini, karena hari sudah beranjak senja. Gelap menunjukkan kuasanya.

“Ada berita buruk Bung, saya harus kembali ke Palu, Papa saya meninggal.”

“Bung Erwin terus saja melanjutkan perjalanan ke Pegunungan Tokala.”

Malam pun semakin sunyi.


***

Gerimis pagi itu. Kabut belum sepenuhnya hilang ketika kami berempat memulai tracking. Puncak-puncak bukit di Pegunungan Tokala tertutup awan hitam. Kami bergegas, karena khawatir hujan akan semakin deras. Jika hujan deras, maka debit air sungai Salato akan semakin besar. Tidak ada jembatan di sungai selebar hampir 100 meter itu. Kami harus menyeberangi Sungai Salato jika ingin menuju tempat tujuan kami. 

Beberapa jam sudah kami berjalan. Kami sudah melintasi Sungai Salato. Kebun-kebun coklat dan kelapa. Kami sudah mulai memasuki hutan dengan vegetasi yang heterogen. Di kejauhan sudah nampak posangke junju atau hutan alang-alang. Beberapa rumah beratap daun kelapa juga sudah terlihat dari kejauhan.

Itu artinya tujuan kami sudah dekat. Ya, tujuan kami adalah lipu-lipu di bukit-bukit Pegunungan Tokala. Lipu adalah unit sosial terkecil masyarakat Tau Taa Wana. Sebuah lipu biasanya terdiri dari beberapa rumah yang saling berdekatan.

Di Lipu viatiro, kami bermalam. Selain bermalam, Agus dan Murni, staf Yayasan Merah Putih mengajar abjad dan angka kepada beberapa anak-anak di Skola Lipu. Skola Lipu adalah pendidikan alternatif untuk Tau Taa Wana. 

***

Dalam beberapa literatur, Tau Taa Wana digolongkan dalam kelompok suku besar Koro Toraja. Leluhur mereka melakukan migrasi awal dari muara antara Kalaena dan Malili kemudian menyusuri Sungai Kalaena. Mereka lalu menuju bagian utara melewati barisan Pengunungan Tokolekaju hingga akhirnya sampai di bagian tenggara Danau Poso. 

 

Selanjutnya, mereka bergerak ke arah timur laut menyisir lereng Gunung Kadata menuju dataran Walati yang dialiri Sungai La, dan terus bergerak menyusuri Sungai Kuse sampai akhirnya tiba di daerah hulu Sungai Bau. Dari sini mereka terus bergerak bermigrasi ke arah Timur hingga akhirnya sampai di hulu Sungai Bongka, tepatnya di wilayah Kaju Marangka. Di wilayah Kaju Marangka ini, sebagian kelompok migran menetap dan berkembang menjadi kelompok etnik Tau Taa Wana. Dalam perkembangan selanjutnya, etnik Tau Taa Wana kemudian menyebar dan mengelompok menjadi empat suku sebagaimana disimpulkan oleh A.C. Kruyt.

Menurut Kruyt (1930), dari segi dialek bahasa, Tau Taa Wana terbagi menjadi empat suku, yaitu: Pertama, Suku Burangas, berasal dari Luwuk dan bermukim di Lijo, Parangisi, Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro; Kedua, Suku Kasiala, berasal dari Tojo Pantai Teluk Tomini dan kemudian berdiam di Manyoe, Sea, serta sebagian di Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro; Ketiga, Suku Posangke, berasal dari Poso dan berdiam di wilayah Kajupoli, Taronggo, Opo, Uemasi, Lemo dan Salubiro; Keempat, Suku Untunue, mendiami Ue Waju, Kajumarangka, Salubiro, dan Rompi.

Keempat dialek bahasa yang membagi etnik Tau Taa Wana menjadi empat suku tersebut, menurut Jane Monnig Atkinson adalah varian dialek dalam bahasa Pamona. Oleh karenanya, Atkinson menyimpulkan bahwa Tau Taa Wana merupakan sub-etnis dari kelompok etnolinguistik Pamona (Atkinson, 1992).

Secara etnografis, Tau (orang) Taa atau To Wana merupakan sub etnis dari kelompok etnolinguistik Pamona yang mendiami wilayah-wilayah sekitar sungai Bongka, Ulubongka, Bungku Utara dan Barong. Orang Wana memakai dialek Wana yang termasuk di dalam rumpun bahasa Pamona sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Dialek Wana juga disebut dialek Taa, sebuah varian dalam bahasa Pamona (Atkinson, 1992).

Secara linguistik, menurut Alvard (1999) orang Wana bertutur dalam bahasa Taa yaitu sebuah bahasa yang banyak digunakan disekitar kawasan pesisir dan dataran rendah di sekitar Cagar Alam Morowali. Orang Wana Posangke mendiami daerah dataran tinggi yang berlembah di sebelah barat Cagar Alam Morowali, yang lokasi mukimnya tersebar di sepanjang Sungai Salato, Sungai Sumi’i, Sungai Uwe Kiumo dan Uwe Waju. Sumber mata air sungai Salato berhulu di Gunung Tokala dan bermuara di sebelah barat (Teluk Tolo). 

 

Wilayah sebaran utama Tau Taa Wana, membentang dari bagian timur dan dan timur laut Cagar Alam Morowali (Kabupaten Morowali Utara) sampai di bagian barat Pegunungan Batui (Kabupaten Banggai) dan Pegunungan Balingara (Kabupaten Tojo Una-Una). Dalam wilayah-wilayah tersebut konsentrasi terbesar lipu Tau Taa Wana, berada di sekitar gunung Tokala, Ponggawa, Katopasa dan lumut.

***

Siang itu kami sampai di Lipu Salisarao. Beberapa orang sudah berkumpul di sebuah rumah. Mereka sudah duduk melingkar. Beberapa botol pongasih sudah tersedia. Lembaran daun jagung kering berisi sejumput tembakau juga mereka sajikan. Kami kemudian berbincang.

Seorang warga Lipu Salisarao mulai bercerita. Dia bercerita mengenai hutan. Baginya, hutan bagi orang Taa sangat vital. Ia berkaitan dengan bagaimana mereka hidup dan melanjutkan kehidupan. Bagi mereka, hutan adalah tempat hidup dan sumber kesejahteraan. 

“tanpa hutan, kami orang Taa mungkin akan kesulitan melanjutkan kehidupan.” 

“Kami mengambil getah damar dan rotan dari hutan.” 

“Kami juga membuka hutan dan berkebun.” ujar Indo Lako. 

Dalam aturan adat Tau Taa Wana, terdapat banyak pengaturan tentang hutan, termasuk larangan-larangan adat tentang hutan. Mereka memiliki ketakutan terhadap kemungkinan bisa terjadi kesalahan atau melanggar garis ketentuan adat, dalam praktik pembukaan ladang. Sehingga mereka memilih melakukannya secara bersama-sama, sebelum lahan siap dibagi.

Beberapa penamaan hutan lahan yang masih kental dan ditemui di Posangke junju (hutan alang-alang), pangale (hutan dengan kayu-kayu besar), pangale kapali (hutan larangan) ini biasanya karena ada pohon besar, pohon beringin, dan batuan besar, vaka nafu (bekas kebun), yopo mura (hutan muda), yopo masia (hutan muda), bonde (kebun-kebun kecil), nafu toto (padi tiga bulan). 

Warga Lipu Salisarao yang lain kemudian, menjabarkan beberapa contoh pembagian hutan lahan itu. Menurutnya Yopo adalah hutan bekas areal rotasi peladangan. Berisi kayu-kayu kecil yang terdiri dari beberapa tingkat waktu dan umur. Sebagai hutan bekas peladangan ia memiliki struktur yang dibedakan dari umur. Pertama, yopo masia adalah bekas ladang yang sudah berumur 5 - 15 tahun; Kedua, adalah yopo mangura, bekas peladangan yang berumur 1-3 tahun. Keberadaan umur dari Yopo adalah gambaran ukuran waktu setiap rotasi peladangan yang berlaku.

Kemudian ada pangale. Pangale adalah hutan lebat membentuk galeri tegakan yang umurnya sudah mencapai 30 tahun. Pangale ini adalah lahan bekas peladangan atau yopo yang telah tumbuh dan membentuk hutan primer. Ia akan lebat menjadi sebuah hutan yang memiliki fungsi sebagai tujuan rotasi selanjutnya dalam tahapan dan periode tertentu berdasarkan yang disepakati, dari jarak awal waktu membuka ladang.

Ada juga pangale kapali. Pangale kapali adalah hutan larangan yang tidak boleh mengambil apapun di dalamnya. Bahkan untuk mengambil daun bambu yang jatuh sekalipun itu dilarang. Lalu, tanah rajuyu adalah tanah yang dimliki secara bersama tidak ada larangan untuk diolah.

Dalam sistem pengaturan lahan orang Taa, tanah diwariskan pada seluruh penghuni isi bumi, tidak boleh dimiliki oleh hanya orang seorang. Yang dimiliki manusia adalah apa yang ditanam atau dia tumbuhkan di atas tanah. Kepercayaan ini menjadi bagian dari spiritual atau keyakinan leluhur orang Taa yang berlangsung dari generasi ke generasi. Kalau ada yang melanggar ketentuan adat ini, maka ia akan di kenai sanksi atau givu bilapersaya.


Kami kemudian menyampaikan informasi mengenai putusan MK 35, hutan adat dan UU Desa. Kami juga menyampaikan informasi mengenai Perda Morowali tentang Pengakuan dan Perlindungan Tau Taa Wana. Mereka antusias mendengar informasi tersebut.

***

Berbagai pembelajaran dari Tau Taa Wana sudah kami petik. Senyuman dan beberapa botol pongasih mengantarkan kami meninggalkan Lipu Salisarao. Kami bergegas menuruni perbukitan, karena ada agenda lain dengan Perkumpulan Bantaya di Bahotokong. Masyarakat Bahotokong sudah menunggu kami. Mereka akan mengajarkan kepada kami mengenai “nafas panjang” dalam melakukan reclaiming lahan Hak Guna Usaha [.]




Palu, 21 – 31 Mei 2014
* Artikel ini sudah dimuat di SINI

Matahari Terbit di Gunung Merapi


Akhirnya Kami bertiga berbalik arah, kembali menuruni punggungan yang dipenuhi rerumputan dan pepohonan. Jalur pilihan kita berujung pada tebing yang tidak mungkin dipanjat tanpa peralatan memadai.

Langit telah pekat, namun urung jua menemukan jalur. Kabut menebal menghalangi mata. Jarak pandang memendek. Sinar headlamp tidak banyak membantu. Tanda-tanda alam itu berusaha memberi pesan: berjalan malam 'tak akan membawa Kami ke mana-mana.

***

Kami bertiga adalah kawan sedari kuliah. Semasa kuliah, kesamaan hobby menyatukan Kami di HMPA Yudhistira. Adalah Ipung yang memiliki inisiatif untuk melakukan pendakian ke Gunung Merapi. Ia ingin mendaki sebelum melanjutkan kuliah di Boston.

Gayung bersambut oleh Darbe, seorang wartawan TV, yang diempui oleh politisi berjenggot lebat. Aku-pun tertarik karena ingin sejenak melupakan thesis yang tidak kunjung di-acc oleh dosen. Jadi-lah, sebuah tim pendaki "uzur" berkumpul.

***

Kalau kataku sih kita nge-camp dulu di sini.” usul Darbe.

Nyong, setuju. Tapi mending agak naik sedikit kali ya?"

"Golet tempat sing madan datar?” Ipung menimpali dengan logat Banyumasan.

"Hayuuuuuk aja." sahutku.

Sepakat, tidak satu-pun suara protes. Memang begitu-lah seharusnya ketika tersesat di gunung. Harus satu kepala. Tiap anggota tim harus rela meleburkan ego ke dalam satu suara bulat. Perdebatan hanya akan menghasilkan perselisihan.

Teringat kisah yang diceritakan oleh penjaga basecamp di Wekas - Gunung Merbabu. Konon, ada dua orang mendaki Gunung Merbabu, bertahun-tahun yang lalu. Mereka tersesat. Mereka berselisih pendapat mengenai jalur ketika tersesat. Seorang dari mereka memilih jalur kanan sementara yang lain bersikeras ke jalur kiri. Kata sepakat tak tercapai. Perselisihan meninggalkan kenangan yang sampai sekarang masih dapat disaksikan para pendaki Merbabu: prasasti memoriam.

Kami berjalan meniti punggungan patah yang memisahkan lembah dan punggungan. Punggungan terjal di sebelah kiri. Di sebelah kanan adalah lembah dalam juga lebar. Di lereng punggungan, tampak siluet pokok-pokok pohon.

Setelah menemukan tempat datar, Ipung mengeluarkan tenda dome dari carrier miliknya. Tidak membutuhkan waktu lama, “rumah” itu beres. Setelah peralatan masuk ke dalam tenda, Darbe lalu mengeluarkan trangia dari daypack-nya. 

“Win, kamu saya beri kehormatan bikin sayur sup.” ujar Darbe. 

“Biasa Win, aja klalen kopi ireng. kental, less sugar!” sahut Ipung.

Setelah itu saya menyibukkan diri memotong bawang merah, bawang putih, sayuran dan baso. Sementara Ipung memasak air untuk kopi. Malam itu Kami tidak memasak nasi, karena sudah membawa nasi dari Magelang.

Sudah mateng neh, keluarin piring.” ujarku seraya melihat panci trangia 27 yang kepayahan menampung sup berisi sayur dan baso.

***

Sekitar dua puluh empat jam yang lalu, Kami masih bisa makan malam di daerah pecinan - Magelang. Elva -yang juga anggota HMPA Yudhistira- dan suaminya, berbaik hati menyediakan tempat menginap di rumahnya. Mereka juga berbaik hati mengajak Kami menikmati malam di kota yang dikelilingi oleh gunung itu. Tidak cukup, esoknya, mereka mengantarkan Kami ke New Selo. titik Awal pendakian Gunung Merapi.


Desa Selo (1.560 mdpl)  termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Boyolali. Desa ini terletak dipelana Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Sesampainya di Desa Selo, calon pendaki dapat meneruskan perjalanan menuju basecamp di Dusun Plalangan.  

Setelah mendaftar di basecamp calon pendaki dapat menuju ke New Selo. Terdapat penanda besar berupa di sana. Alih-alih bertulis “Hollywod”, penanda itu bertuliskan “New Selo”.

*** 

“Kang Darbe, Win, Tangi! Kalian harus lihat ini!” teriak Ipung sambil mengguncang bahu kami.

Dengan mata terkantuk, Aku justru menarik menarik retsleting sleeping bag karena malas dan dingin. Seakan tidak peduli, Ipung justru membuka retsleting tenda dan membukanya lebar-lebar. Hawa dingin-pun masuk dengan bebas ke dalam tenda. Sambil membuka mata, Aku bersiap untuk meneriakkan makian ke Ipung. Namun… 

Dari dalam tenda Aku melihat langit gelap mulai berwarna orange. “Matahari terbit.” pikirku. Melupakan rasa malas dan dingin Aku bergegas keluar dari tenda. Di luar, Ipung sudah berteriak-teriak layaknya anak kecil mendapat mainan baru.


Ternyata flying camp Kami adalah sebuah tempat yang sempurna untuk melihat matahari terbit. Sekilas, tempat itu adalah punggungan selebar ± 6 meter. Samping kanan dan kiri punggungan itu adalah lembah yang dalam. Punggungan itu terus menanjak. Dari kejauhan nampak puncak Gunung Merapi. Sungguh, itu adalah matahari terbit terbaik yang pernah kusaksikan. Matahari terbit yang kunikmati karena tersesat [.]

Terbang Menembus Jantung Borneo


Aku sudah di Malinau selama beberapa hari. Seorang kontak yang diberikan oleh rekan kerjaku, berbaik hati menyediakan persinggahan. Beberapa hari itu kuhabiskan karena menunggu penerbangan ke jantung borneo.

Untuk mengusir bosan, malam itu Aku bermain game di ponsel. Sedang asyik menyusun strategi di permainan itu, tiba-tiba ponselku bergetar. Ada notifikasi twitter dari ‏@iqinSASAK. Akun itu me-twett: “Pdhl 25/2 @erwin70tba flight LongBawan via Malinau @tbpurba RT @kompascom: Helikopter TNI AD Hilang Kontak di Nunukan http://kom.ps/AFeVXh 

Tautan itu-pun kutuju. Isinya berita hilangnya helikopter di sekitar Taman Nasional Krayan-Mentarang karena cuaca buruk. Ponsel ku-scroll untuk membaca berita lebih utuh. Lalu meng-klik beberapa tautan terkait.

Hilang di sekitar Long Bawan!” batinku.

Sembari meletakkan ponsel, Aku mengambil carrier 35 liter yang tergeletak di lantai kayu ulin rumah itu. Kuambil tiket pesawat susi air dari side pocket-nya. Tiket tujuan Long Bawan.

***

Long Bawan adalah ibukota Kecamatan Krayan. Aksesbilitas dari dan menuju Kecamatan Krayan sangat terbatas. Satu–satunya akses ke Kecamatan Krayan dari kota–kota di Indonesia menggunakan transportasi udara. Ada dua maskapai yang melayani penerbangan dari Kota Malianau, Kota Nunukan dan Kota Tarakan ke Long Bawan, yaitu MAF dan Susi Air. Selain di Long Bawan, di beberapa desa lainnya juga terdapat lapangan terbang perintis. Sebelum ada jalan darat, akses dari dan menuju desa-desa di kecamatan Krayan adalah dengan menggunakan pesawat perintis.


Sementara, jika melalui Malaysia, Long Bawan bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi darat. Ada tiga pintu masuk di perbatasan Malaysia dan Indonesia, yaitu: Long Midang, Long Layu dan Lembudud. Selain itu masih ada jalan–jalan “tikus” menuju ke Malaysia.

*** 

Pesawat kecil itu terbang di antara bukit-bukit. Lincah menghindar awan-awan. Dua pilot, bule itu seakan sudah hapal jalur Malinau menuju Long Bawan. Hapal jalur seperti tukang ojek langgananku, memintas jalan-jalan tikus untuk mengurai kemacetan Jakarta.

Pesawat terbang rendah. Aku bisa melihat riam-riam sungai yang terkenal ganas. Aku juga bisa melihat pokok-pokok pohon besar rimba borneo.

Sudah 30 menit, salah seorang pilot itu memberi informasi kepada penumpang. Kami harus mengencangkan sabuk pengaman karena akan mendarat. Aku –dan tiga penumpang lainnya– bergegas mengencangkan sabuk pengaman.


Dengan lugas, sang pilot berhasil mendaratkan pesawat kecil itu. Tiba-lah kami di Long Bawan. Bandara yang hanya terdiri dari satu bangunan kecil. Jangan berharap ada belalai gajah, menara air traffic controller atau sekedar gerai makanan cepat saji. Bahkan Aku bisa melihat sapi sedang memakan rumput di sekitar runway. Ah, apa jadinya jika sapi itu tadi nyelonong ke runway ketika pesawatku mendarat.

***

Aku mendapat tugas untuk melakukan penelitian tenurial Dayak Lundayeh. Untuk itu, Aku harus live in di Long Bawan selama satu bulan. Tawaran itu kuterima, karena Aku sudah membayangkan akan menjelahi jantung borneo! Hutan Kalimantan yang tersisa [.]




Kontak
Erwin
By Request
Nusantara