Catatan

image

Tentang

Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. Petra adalah batu dan ichor artinya darah para dewa. Karena alasan itu-lah, blog ini bernama "Petrichor".

"Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.


Pendidikan
Unika Soegijapranata

Magister Lingkungan dan Perkotaan

Universitas Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum


Pekerjaan
2013 - sekarang, Perkumpulan HuMa Indonesia

Analisa Hukum dan Data

2008 - 2012, LBH Semarang

Pengabdi Bantuan Hukum


Keahlian
Analisa Hukum
Fasilitator
Pendaki Gunung
Blog

Gagal Menikmati Matahari Terbit di Gunung Rakutak




Bung, akhir pekan ini mau ke mana?” tanya Sandoro kepadaku.


Sapaan “Bung” membuatku mencari alasan yang terkesan progresif. Alasan yang memberi kesan kepadanya, bahwa aku rutin membaca indoprogres (dot) com dan bukan mojok (dot) co Alasan itu harus tidak kalah dengan orasi para demonstran di atas mobil sound system.

Bung tau Kartosoewirjo?” jawabku dengan mimik serius.

“Sejatinya Ia terlibat perang kemerdekaan 1945-1949. Tapi, Ia menolak perintah pemerintah pusat agar Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah sebagai konsekuensi perjanjian Renville. Ia juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.

“Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat membulatkan tekadnya memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Perjuangannya berakhir setelah ditangkap tentara di Gunung Rakutak pada Juni 1962.”

“Aku akan menelusuri jejak Kartosoewirjo dengan mendaki Gunung Rakutak” tutupku.

***

Sebenarnya, alasan kenapa mendaki Gunung Rakutak berawal dari posting kawan di dinding facebook-nya. Adalah Syahrul yang mem-posting tautan dari laman hipwee (dot) com berjudul “delapan alasan kenapa karyawan yang nggak pergi liburan adalah golongan merugi”

Sontak kukomentari tautan itu: “Kemas ranselmu dan berlibur!

Ayo, mendaki yuk.” jawabnya.

Jadi, dari dinding facebook itu-lah rencana mendaki Gunung Rakutak berawal.

***

Malam itu, Jumat, jam 20.00. Hujan turun dengan lebat sore menjelang malam itu. Beberapa lokasi di Jakarta –seperti biasa- menjadi tergenang. Aku, Agung dan Mumu "terdampar" di bilangan Pasar Minggu. Berulangkali Agung mencoba menelpon taxi, namun tidak tersambung. Aplikasi android untuk memanggil taxi juga tidak mendapat respon. 

Seorang kawan sudah di lokasi meeting point.Sudah di kampung rambutan” Grahat mengirim pesan di group whatsup.

Sementara, Siska, Syahrul, Riza dan Sutan terkena macet di Jakarta Pusat. Jadi-lah itinieary menjadi berantakan. Kami baru bisa berangkat dari kampung rambutan selepas jam 23.00 dari rencana awal jam 20.00. Kami berangkat menggunakan bus dari kampung rambutan.

Delapan orang sudah berada di Bus jurusan Garut. Masing-masig dari kami kemudian terlelap ketika bus masuk tol cipularang. Sesampai di pintu tol cileunyi, kami bergesa menuju mobil yang akan mengantar ke Desa Sukarame. Mobil berjalan pasti menembus pagi. 

Namun kami "nyasar" sampai ke Majalaya. Akan lebih cepat jika via Ciparay. Bahkan ketika sampai di Desa Sukarame, "nyasar" (lagi) ketika mencari base camp. Kami-pun memutuskan berhenti di sebuah mushala. Beberapa kawan kemudian sholat. Kebetulan ada seorang ibu bisa ditanya. Ia kemudian memberi petunjuk jalan. Ternyata jalan masuk menuju basecamp ada di seberang mushola.

Mobil kami-pun memasuki berjalan pelan. Rumah-rumah masih gelap. Masih sulit menemukan base camp. Akhirnya kami memutuskan untuk singgah di sebuah mushala. Kebetulan ada tiga tim lain yang ternyata akan mendaki gunung.

***

Pagi itu, Sabtu, jam 06.30. Jadi, informasi dari Grahat, ada banyak convienence store di Sukarame. Kami-pun sepakat untuk melengkapi logistick di  sekitar base camp. Informasi yang sesat! Ternyata di Desa ini belum ada convenience store.

Pak, disini ada yang jual nasi bungkus untuk sarapan dan air mineral botol?” tanyaku.

“wah, disini tidak ada yang jual nasi bungkus. Harus ke jalan besar sana. Ada yang jual nasi kuning.” jawabnya.

“Kalau air mineral, ada di toko yang di sana.” lanjutnya sambil menunjuk arah.

Antara bersyukur –karena convienence store belum masuk kampung, dan kesal– karena kerepotan melengkapi logistik, kami-pun berbagi tugas. Sebagian dari kami ke toko, sebagian lainnya ke warung yang menjual nasi bungkus.

Setelah logistic lengkap dan sarapan, kami beranjak dari mushala ke basecamp. Di base camp, Kang Agus, menjelaskan sedikit mengenai jalur pendakian. Base camp juga menyediakan pemandu jalan, untuk sampai batas peladangan. Kami setuju saja, karena belum ada yang pernah mendaki Gunung Rakutak.
 
***

Pagi itu, Sabtu, jam 10.00 Secangkir kopi enrekang dan beberapa potong energy bar menjadi menu makan siang kami. Kami sudah sampai di batas peladangan lama. Saat menikmati makan siang, seorang petani memintas. Kami-pun menawarinya untuk singgah. Ia menolak kopi dan potongan energy bar. Namun Ia tidak menolak rokok yang kami sodorkan.

“Mau ke mana Kang?”

“Panen bawang daun. Lumayan, harganya naik. Dari awalnya 6.000, sekarang 20.000.”

“Wah, bagus dong. Kang, yakin ga mau kopi?” kataku.

“Ga usah Aa. Lagian di atas dikit juga ada warung kopi kok.” katanya.

Arrrghhhhhhhhh!

Dan kenikmatan kopi enrekang itu-pun berkurang.

  ***

Siang itu, selepas jam 12.00. Jalur pendakian Gunung Rakutak sangat terjal. Itu masih ditambah lumpur sepanjang jalur, mungkin akibat dari hujan yang turun semalam. Delapan orang dari kami, akhirnya terpisah dalam rombongan kecil berdasarkan kecepatannya. Karena sudah lelah dan badan merapuh, menjadi sweeper, Aku berada di rombongan paling belakang.

Target hari ini adalah flying camp di puncak kedua Gunung Rakutak. Rombongan kecil pertama sampai di Pos Tegal Alun pada Jam 14.00. Sekitar jam 15.00 seluruh rombongan sampai di puncak II. Kami bergegas mendirikan dua tenda. Tenda belum berdiri sempurna, namun hujan sudah turun dengan sempurna.

Akhirnya tenda berdiri dengan sempurna, hujan mereda. Aktifitas flying camp-pun berlanjut: memasak, makan bersama, bercanda. Semakin malam langit semakin cerah. Bintang dan lampu-lampu kota terlihat jelas. Namun kantuk dan lelah lebih berkuasa. Aku memilih masuk ke tenda dan tidur. Toh, target pribadiku adalah menikmati matahari terbit di puncak gunung.



***

Pagi itu, jam 04.00. Alarm ponselku berbunyi. “saatnya menikmati matahari terbit” batinku sembari keluar dari tenda. Detik demi detik menunggu warna merah merekah. Dan hasilnya target pribadi itu gagal. Matahari terbit terhalang Puncak Utama Rakutak! Arggggggh [.]



Membuat Energy Bar untuk Mendaki Gunung Rakutak


Dahulu, Aku biasa memindahkan “dapur” ke vestibule tenda. Pernah, Ari nge-dumel sepanjang perjalanan mendaki Gunung Sundoro, karena membawa cobek. Iya, cobek. Alih-alih cobek kayu, melainkan cobek batu lengkap dengan ulegan-nya.

Jadi, niatnya kala itu mau membikin rujak buah di puncak Gunung Sundoro. Rujak buah! Bayangkan, selepas melewati kawasan ladang, summit attack ke puncak, lalu menikmati segarnya nanas muda, kedondong, mangga muda dan sambal gula merah pedas.

"iya enak, tapi berat kali bawa cobek!", Ari tersungut.

Cobek itu hanya satu kisah. Kisah lainnya adalah parutan dan kelapa. Parutan? Jadi, niatnya waktu itu akan membuat bubur kacang hijau. Sewaktu menu disusun, beberapa kawan sudah protes: "kenapa ga pakai santan instan aja?", kata mereka. "Ah, yang instan-instan mah ga enak.", jawabku singkat.

Kisah cobek dan parutan itu hanya dua dari beragam kisah memasak di gunung. Ia selalu jadi guyonan, bahkan setelah bertahun-tahun.

***

Lain dahulu, lain sekarang. Karena latah dan faktor tenaga yang kian merapuh, Aku akan mencoba ultralight backpacking ke Gunung Rakutak, tengah bulan ini. Gunung ini berada di Bandung Selatan. Hanya membutuhkan dua hari dan satu malam untuk mendakinya berdasarkan itinerary yang kususun.

Biasanya, mereka yang mencoba ultraligh backpacking, terlalu fokus di peralatan. Benar, peralatan yang tepat bisa menghemat berat. Tapi itu menjadi tidak berarti jika logistik yang dibawa masih model "kemping ceria". Konsekuensi lanjutan-nya adalah bahan bakar yang banyak. Belum lagi air untuk memasaknya. Jadi, selain peralatan, logistik sebisa mungkin tidak konvensional (lagi). 

Untuk itu, menu disusun. Menu untuk pendakian kali ini adalah: hari pertama, energy bar untuk siang dan sop dengan sayuran beku (biasa untuk pelengkap steak yang terdiri dari wortel, jagung manis, buncis) serta baso. Hari kedua, pancake coklat untuk pagi dan energy bar untuk siang hari.

Dengan menu itu, Aku tidak perlu memasak nasi (yang artinya menghemat air dan bahan bakar). Air yang dibawa hanya untuk minum dan sedikit untuk sop.

***

Makan siang hari kedua adalah energy bar. Energy bar ini dibuat di rumah. Energy bar adalah semacam snack yang mengandung energi tinggi. Jadi, cocok untuk aktifitas pendakian. Internet menyediakan cukup banyak resep snack ini sebagai referensi.
 
Berbagai resep itu coba dimodifikasi, sesuai dengan selera. Coklat, kurma dan mete adalah pilihanku. Selengkapnya, bahan-bahan yang diperlukan adalah: 300 gr kurma dipotong-potong; 280 gr mete mentah 75 gr; Bubuk kokoa; Garam secukupnya; Oatmeal secukupnya; Vanilli 2-3 sendok makan air dingin. 

Sementara, alat yang diperlukan hanya food processor (bisa diganti blender); Cetakan ukuran 11,5 x 4,5 inchi (29x12) dilapisi alumunium foil, dan microwave (bisa diganti oven).







Cara membuatnya sangat mudah. Pertama, membuat adonan. Campurkan kurma, mete, bubuk coklat dan garam ke dalam food processor. Campurkan dan olah sampai teksturnya hancur dan kasar (lebih enak masih kasar, sehingga terasa sewaktu digigit). Tambahkan oatmeal dan tambah vanilla, sedikit air dingin sekaligus sampai membentuk adonan lembab. Kedua, tuang adonan ke cetakan, tekan merata. Ketiga, masukkan ke dalam microwave selama 45 menit. Setelah 45 menit, angkat dan dinginkan selama sejam. 

Energy bar sudah siap. Nantinya, tinggal dipotong kecil dan dibungkus alumunium foil. Siap untuk bekal ke Gunung Rakutak. Cukup ringan dan praktis. Lebih dari itu, snack ini menyediakan kalori yang lebih dari cukup untuk kegiatan mendaki gunung [.]




Caving di Gua Macan: Alasanku Mencintai Karst




Februari 2006, jam 15.00, sekre merah – HMPA Yudhistira masih sepi. Sekre merah itu berada di komplek UKM. Gedung perkuliahan fakultas hukum – Universitas Jenderal Soedirman berada di seberang komplek UKM, dibatasi oleh halaman parkir. Dari sekre merah itu, Aku memandangi jendela gedung perkuliahan lantai dua. Dari dalam jendela, Hamzah memberi kode: Ia masih kuliah beberapa saat lagi.

Aku dan Topan yang pertama datang di sekre itu. Berturut-turut datang-lah, Erick – si jangkung dengan tas slempang warna biru, lalu Cimot dan Adi dengan motor Vega hitamnya datang. Sambil menunggu Hamzah dan beberapa kawan lainnya, Kami mengecek dan menyiapkan peralatan.

Ponselku berbunyi. Sms dari Abdi mengkabarkan, Ia sudah berada di wall climbing yang berada di belakang perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman. Aku mengetik pesan singkat: tunggu, sedang packing.

***

Dua utas tali kernmantel statis, masih-masing 20 meter disambung dengan simpul menjadi satu. Aku dan Erick lalu memanjat tangga di samping wall climbing. Sesampainya di top, Erick membuat simpul delapan dan menambatkan carabner scew oval di main anchor. Tak lama, Ia kemudian membuat back up anchor dengan memperhitungkan fall factor yang tepat. Untaian tali sudah terpasang. Siap sebagai tempat berlatih SRT.

Masing-masing dari Kami memakai dua utas webbing sebagai seat harness dan chest harness. Dua utas webbing itu disatukan dengan mailon rapide (MR). Di MR itu-lah berbagai peralatan lainnya berpusat, yaitu: croll dan auto stop descender. Selain itu, terpasang juga foot loop untuk pijakan kaki terhubung dengan jummar. Ada juga cows tail atau tali dinamik yang disimpul dengan salah satu talinya lebih pendek. Tali yang pendek digunakan terpasang carabiner sebagai tambatan pengaman.

Hari itu Kami berlatih naik dan turun dengan teknik SRT. Secara khusus Kami berlatih berpindah sambungan tali, berlatih berpindah lintasan tali dan melatih kecepatan. 5-10 menit adalah target waktu untuk masih-masing dari Kami untuk naik maupun turun. Hari itu, Kami belum mampu melampaui target tersebut.

***

Maret 2006, jam 07.00, Gua Macan-Gombong. Aku menambatkan jummar pada tali kermantle, dan memindahkan carabiner di cows tail dari webbing pengaman ke loop main anchor. Lalu, Aku mulai memasukkan tali kernmantle ke dalam auto stop descender. Selepas itu, Aku membuat simpul untuk menguncinya, mencegah tidak langsung merosot ketika -nanti- melepas cows tail.

Pelan-pelan Aku mencoba membebani lintasan. Setelah dirasa cukup kuat, satu per satu pengaman yang masih terikat dilepas. Diawali dengan jummar, cows tail, kemudian terakhir simpul pengunci pada auto stop descender. Beban tubuh kini berpindah sepenuhnya pada auto stop descender.

Pfuuuuuih!!!” teriakku sambil tetap memegang tuas auto stop descender.

Keringat hampir sepenuhnya membasahi coverall merah yang kupakai. Alih-alih karena gerah, keringat itu justru karena kegugupan mendominasi perasaanku saat itu.

Rick, liatin talinya, friksi ga?!!!” teriakku pada Erick yang menjadi second mand dan membantuku rigging.

Aman Win.” jawab Erick lugas.

“Oke, Aku turun.”
ucapku sambil mulai kuturuni lintasan slap menuju bibir tebing. Kemudian, mulai kutekan tuas desecender itu.

Diiringi suara deras aliran sungai bawah tanah di dasar gua, perjalanan dimulai. Kegelapan abadi telah menungguku di bawah sana. Cahaya tidak mampu mencapai dasar gua. Perlahan dan pasti tubuhku bergerak ke bawah. Sedikit ada hentakan, mulai kuatur ritme turunku. Setiap detik terasa begitu lama. Ketakutan yang 'tak beralasan mulai menyapaku.

Setelah sekitar 20 meter melewati lintasan, auto stop descender mulai panas karena bergesekan dengan tali. Setelah 20 meter juga, Aku menemui sambungan tali. Dengan bantuan jumar, croll, dan foot loop, cepat saja kulewati dua buah simpul penyambung itu.

Kutarik nafas panjang, mencoba menghilangkan rasa ketakutanku. Aku melihat sekeliling, gelap. Kutengok ke bawah, tidak tampak apa pun. Kemudian, kutengadahkan kepala ke atas, hanya terlihat seutas tali. Seutas kernmantle putih berdiameter 10.5 mm tempatku bergantung saat itu. 

***

Disambut dengan derasnya bunyi aliran sungai bawah gua ini, sejurus kemudian kakiku akhirnya menapak dasar gua. Berturut-turun Hamzah, Erick, dan Cimot sampai di dasar gua. Masing-masing dari Kami membutuhkan waktu 5-10 menit untuk menuruni lintasan tali. Tidak percuma Kami berlatih selama hampir sebulan. Adi –sebagai anggota termuda- ternyata tidak memiliki cukup keberanian, dan merelakan untuk menjaga anchor.

Sejenak, keempat dari Kami terdiam dalam gelap. Derasnya aliran sungai membuat suasana mencekam. Kami kemudian menyalakan head lamp dan boom (generator carbide). Alat ini berupa tabung yang dihubungkan dengan sebuah slang ke helm. Terdiri dari dua bagian, tabung alas berguna untuk menampung air, yang dilengkapi dengan regulator saluran gas dan lubang tempat pengisian air. Tabung bawah digunakan untuk mengisi karbit.

Aliran sungai itu ternyata berujung pada sebuah air terjun. Sebuah danau seluas ½ lapangan sepakbola terbentang. Dari ujung danau nampak sebuah lubang sempit. Air mengalir lagi dari danau membentuk aliran sungai bawah tanah yang panjang. Kami menelusuri aliran sungai itu.

Untukku ini adalah pengalaman pertama menelusuri gua. Kami memilih untuk menelusuri Gua Macan. Gua macan terletak di 109024’BT - 07 041’LS, secara administratif, gua macan terletak di  Dusun Karang Gondang/Teba, Candirenggo, Ayah, Kebumen.


Penelusuran pertamaku ini membuat mataku seakan dibukakan kenyataan bahwa di dalam pegunungan karst tersimpan kekayaan alam berupa air! Air melimpah di kedalaman bumi itu semacam anomali dari permukaan pegunungan karst yang kering.

***

Kami beristirahat di basecamp gua petruk – bukan di gua macan. Erick masih kesal ke Hamzah karena lupa mengganti film kamera sakunya. Akibatnya, tidak ada cukup dokumentasi kegiatan. Aku, Adi dan Cimot hanya terkekeh melihat kelakuan mereka.
 
Tak lama Pak Turimin, pemilik basecamp, mempersilakan Kami menyantap pecel kangkung dan mendoan hangat. Dia kemudian menyalakan radio FM/AM miliknya. Lamat-lamat terdengar suara penyiar berita Radio Republik Indonesia: PT SG akan membangun pabrik semen di pegunungan karst Kendeng Utara - Pati. Arggggh! [.]


Kontak
Erwin
By Request
Nusantara