“Bung, akhir pekan ini mau ke mana?” tanya Sandoro kepadaku.
Sapaan
“Bung” membuatku mencari alasan yang terkesan progresif. Alasan yang memberi
kesan kepadanya, bahwa aku rutin membaca indoprogres (dot) com dan bukan mojok
(dot) co Alasan itu harus tidak kalah dengan orasi para demonstran di atas
mobil sound system.
“Bung
tau Kartosoewirjo?” jawabku dengan mimik serius.
“Sejatinya
Ia terlibat perang kemerdekaan 1945-1949. Tapi, Ia menolak perintah pemerintah
pusat agar Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah sebagai
konsekuensi perjanjian Renville. Ia juga menolak posisi menteri yang ditawarkan
Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.
“Kekecewaannya
terhadap pemerintah pusat membulatkan tekadnya memproklamirkan NII pada 7
Agustus 1949. Perjuangannya berakhir setelah ditangkap tentara di Gunung
Rakutak pada Juni 1962.”
“Aku
akan menelusuri jejak Kartosoewirjo dengan mendaki Gunung Rakutak” tutupku.
***
Sebenarnya,
alasan kenapa mendaki Gunung Rakutak berawal dari posting kawan di
dinding facebook-nya. Adalah Syahrul yang mem-posting tautan dari
laman hipwee
(dot) com berjudul “delapan alasan kenapa karyawan yang nggak pergi liburan
adalah golongan merugi”
Sontak
kukomentari tautan itu: “Kemas ranselmu dan berlibur!”
“Ayo,
mendaki yuk.” jawabnya.
Jadi, dari dinding facebook itu-lah rencana
mendaki Gunung Rakutak berawal.
***
Malam
itu, Jumat, jam 20.00.
Hujan turun dengan lebat sore menjelang malam itu. Beberapa lokasi di Jakarta
–seperti biasa- menjadi tergenang. Aku, Agung dan Mumu "terdampar" di
bilangan Pasar Minggu. Berulangkali Agung mencoba menelpon taxi, namun tidak
tersambung. Aplikasi android untuk memanggil taxi juga tidak mendapat
respon.
Seorang kawan sudah di lokasi meeting point. “Sudah di kampung rambutan” Grahat mengirim pesan di group whatsup.
Sementara,
Siska, Syahrul, Riza dan Sutan terkena macet di Jakarta Pusat. Jadi-lah itinieary
menjadi berantakan. Kami baru bisa berangkat dari kampung rambutan selepas jam
23.00 dari rencana awal jam 20.00. Kami berangkat menggunakan bus dari kampung
rambutan.
Delapan orang sudah berada di Bus jurusan Garut. Masing-masig dari kami kemudian terlelap ketika bus masuk tol cipularang. Sesampai di pintu tol cileunyi, kami bergesa menuju mobil yang akan mengantar ke Desa Sukarame. Mobil berjalan pasti menembus pagi.
Namun
kami "nyasar" sampai ke Majalaya. Akan lebih cepat jika
via Ciparay. Bahkan ketika sampai di Desa Sukarame, "nyasar"
(lagi) ketika mencari base camp. Kami-pun memutuskan berhenti
di sebuah mushala. Beberapa kawan kemudian sholat. Kebetulan ada seorang ibu
bisa ditanya. Ia kemudian memberi petunjuk jalan. Ternyata jalan masuk menuju basecamp
ada di seberang mushola.
Mobil
kami-pun memasuki berjalan pelan. Rumah-rumah masih gelap. Masih
sulit menemukan base camp. Akhirnya kami memutuskan untuk singgah di
sebuah mushala. Kebetulan ada tiga tim lain yang ternyata akan mendaki gunung.
***
Pagi
itu, Sabtu, jam 06.30. Jadi,
informasi dari Grahat, ada banyak convienence store di Sukarame. Kami-pun
sepakat untuk melengkapi logistick di sekitar base camp. Informasi
yang sesat! Ternyata di Desa ini belum ada convenience store.
“Pak,
disini ada yang jual nasi bungkus untuk sarapan dan air mineral botol?” tanyaku.
“wah,
disini tidak ada yang jual nasi bungkus. Harus ke jalan besar sana. Ada yang
jual nasi kuning.” jawabnya.
“Kalau
air mineral, ada di toko yang di sana.” lanjutnya sambil menunjuk arah.
Antara
bersyukur –karena convienence store belum masuk kampung, dan kesal–
karena kerepotan melengkapi logistik, kami-pun berbagi tugas. Sebagian
dari kami ke toko, sebagian lainnya ke warung yang menjual nasi bungkus.
Setelah
logistic lengkap dan sarapan, kami beranjak dari mushala ke basecamp. Di
base camp, Kang Agus, menjelaskan sedikit mengenai jalur pendakian. Base
camp juga menyediakan pemandu jalan, untuk sampai batas peladangan. Kami
setuju saja, karena belum ada yang pernah mendaki Gunung Rakutak.
***
Pagi
itu, Sabtu, jam 10.00
Secangkir kopi enrekang dan beberapa
potong energy bar menjadi menu makan siang kami. Kami sudah sampai
di batas peladangan lama. Saat menikmati makan siang, seorang petani memintas.
Kami-pun menawarinya untuk singgah. Ia menolak kopi dan potongan energy
bar. Namun Ia tidak menolak rokok yang kami sodorkan.
“Mau
ke mana Kang?”
“Panen
bawang daun. Lumayan, harganya naik. Dari awalnya 6.000, sekarang 20.000.”
“Wah,
bagus dong. Kang, yakin ga mau kopi?” kataku.
“Ga
usah Aa. Lagian di atas dikit juga ada warung kopi kok.” katanya.
“Arrrghhhhhhhhh!”
Dan
kenikmatan kopi enrekang itu-pun berkurang.
***
Siang
itu, selepas jam 12.00.
Jalur pendakian Gunung Rakutak sangat terjal. Itu masih ditambah lumpur
sepanjang jalur, mungkin akibat dari hujan yang turun semalam. Delapan orang
dari kami, akhirnya terpisah dalam rombongan kecil berdasarkan kecepatannya.
Karena sudah lelah dan badan merapuh, menjadi sweeper, Aku berada
di rombongan paling belakang.
Target
hari ini adalah flying camp di puncak kedua Gunung Rakutak. Rombongan
kecil pertama sampai di Pos Tegal Alun pada Jam 14.00. Sekitar jam 15.00
seluruh rombongan sampai di puncak II. Kami bergegas mendirikan dua tenda.
Tenda belum berdiri sempurna, namun hujan sudah turun dengan sempurna.
Akhirnya
tenda berdiri dengan sempurna, hujan mereda. Aktifitas flying camp-pun
berlanjut: memasak, makan bersama, bercanda. Semakin malam langit semakin
cerah. Bintang dan lampu-lampu kota terlihat jelas. Namun kantuk dan lelah
lebih berkuasa. Aku memilih masuk ke tenda dan tidur. Toh, target pribadiku
adalah menikmati matahari terbit di puncak gunung.
***
Pagi itu, jam 04.00. Alarm ponselku berbunyi. “saatnya menikmati matahari terbit” batinku sembari keluar dari tenda. Detik demi detik menunggu warna merah merekah. Dan hasilnya target pribadi itu gagal. Matahari terbit terhalang Puncak Utama Rakutak! Arggggggh [.]