Minggu, 01 Maret 2015

Caving di Gua Macan: Alasanku Mencintai Karst



Februari 2006, jam 15.00, sekre merah – HMPA Yudhistira masih sepi. Sekre merah itu berada di komplek UKM. Gedung perkuliahan fakultas hukum – Universitas Jenderal Soedirman berada di seberang komplek UKM, dibatasi oleh halaman parkir. Dari sekre merah itu, Aku memandangi jendela gedung perkuliahan lantai dua. Dari dalam jendela, Hamzah memberi kode: Ia masih kuliah beberapa saat lagi.

Aku dan Topan yang pertama datang di sekre itu. Berturut-turut datang-lah, Erick – si jangkung dengan tas slempang warna biru, lalu Cimot dan Adi dengan motor Vega hitamnya datang. Sambil menunggu Hamzah dan beberapa kawan lainnya, Kami mengecek dan menyiapkan peralatan.

Ponselku berbunyi. Sms dari Abdi mengkabarkan, Ia sudah berada di wall climbing yang berada di belakang perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman. Aku mengetik pesan singkat: tunggu, sedang packing.

***

Dua utas tali kernmantel statis, masih-masing 20 meter disambung dengan simpul menjadi satu. Aku dan Erick lalu memanjat tangga di samping wall climbing. Sesampainya di top, Erick membuat simpul delapan dan menambatkan carabner scew oval di main anchor. Tak lama, Ia kemudian membuat back up anchor dengan memperhitungkan fall factor yang tepat. Untaian tali sudah terpasang. Siap sebagai tempat berlatih SRT.

Masing-masing dari Kami memakai dua utas webbing sebagai seat harness dan chest harness. Dua utas webbing itu disatukan dengan mailon rapide (MR). Di MR itu-lah berbagai peralatan lainnya berpusat, yaitu: croll dan auto stop descender. Selain itu, terpasang juga foot loop untuk pijakan kaki terhubung dengan jummar. Ada juga cows tail atau tali dinamik yang disimpul dengan salah satu talinya lebih pendek. Tali yang pendek digunakan terpasang carabiner sebagai tambatan pengaman.

Hari itu Kami berlatih naik dan turun dengan teknik SRT. Secara khusus Kami berlatih berpindah sambungan tali, berlatih berpindah lintasan tali dan melatih kecepatan. 5-10 menit adalah target waktu untuk masih-masing dari Kami untuk naik maupun turun. Hari itu, Kami belum mampu melampaui target tersebut.

***

Maret 2006, jam 07.00, Gua Macan-Gombong. Aku menambatkan jummar pada tali kermantle, dan memindahkan carabiner di cows tail dari webbing pengaman ke loop main anchor. Lalu, Aku mulai memasukkan tali kernmantle ke dalam auto stop descender. Selepas itu, Aku membuat simpul untuk menguncinya, mencegah tidak langsung merosot ketika -nanti- melepas cows tail.

Pelan-pelan Aku mencoba membebani lintasan. Setelah dirasa cukup kuat, satu per satu pengaman yang masih terikat dilepas. Diawali dengan jummar, cows tail, kemudian terakhir simpul pengunci pada auto stop descender. Beban tubuh kini berpindah sepenuhnya pada auto stop descender.

Pfuuuuuih!!!” teriakku sambil tetap memegang tuas auto stop descender.

Keringat hampir sepenuhnya membasahi coverall merah yang kupakai. Alih-alih karena gerah, keringat itu justru karena kegugupan mendominasi perasaanku saat itu.

Rick, liatin talinya, friksi ga?!!!” teriakku pada Erick yang menjadi second mand dan membantuku rigging.

Aman Win.” jawab Erick lugas.

“Oke, Aku turun.”
ucapku sambil mulai kuturuni lintasan slap menuju bibir tebing. Kemudian, mulai kutekan tuas desecender itu.

Diiringi suara deras aliran sungai bawah tanah di dasar gua, perjalanan dimulai. Kegelapan abadi telah menungguku di bawah sana. Cahaya tidak mampu mencapai dasar gua. Perlahan dan pasti tubuhku bergerak ke bawah. Sedikit ada hentakan, mulai kuatur ritme turunku. Setiap detik terasa begitu lama. Ketakutan yang 'tak beralasan mulai menyapaku.

Setelah sekitar 20 meter melewati lintasan, auto stop descender mulai panas karena bergesekan dengan tali. Setelah 20 meter juga, Aku menemui sambungan tali. Dengan bantuan jumar, croll, dan foot loop, cepat saja kulewati dua buah simpul penyambung itu.

Kutarik nafas panjang, mencoba menghilangkan rasa ketakutanku. Aku melihat sekeliling, gelap. Kutengok ke bawah, tidak tampak apa pun. Kemudian, kutengadahkan kepala ke atas, hanya terlihat seutas tali. Seutas kernmantle putih berdiameter 10.5 mm tempatku bergantung saat itu. 

***

Disambut dengan derasnya bunyi aliran sungai bawah gua ini, sejurus kemudian kakiku akhirnya menapak dasar gua. Berturut-turun Hamzah, Erick, dan Cimot sampai di dasar gua. Masing-masing dari Kami membutuhkan waktu 5-10 menit untuk menuruni lintasan tali. Tidak percuma Kami berlatih selama hampir sebulan. Adi –sebagai anggota termuda- ternyata tidak memiliki cukup keberanian, dan merelakan untuk menjaga anchor.

Sejenak, keempat dari Kami terdiam dalam gelap. Derasnya aliran sungai membuat suasana mencekam. Kami kemudian menyalakan head lamp dan boom (generator carbide). Alat ini berupa tabung yang dihubungkan dengan sebuah slang ke helm. Terdiri dari dua bagian, tabung alas berguna untuk menampung air, yang dilengkapi dengan regulator saluran gas dan lubang tempat pengisian air. Tabung bawah digunakan untuk mengisi karbit.

Aliran sungai itu ternyata berujung pada sebuah air terjun. Sebuah danau seluas ½ lapangan sepakbola terbentang. Dari ujung danau nampak sebuah lubang sempit. Air mengalir lagi dari danau membentuk aliran sungai bawah tanah yang panjang. Kami menelusuri aliran sungai itu.

Untukku ini adalah pengalaman pertama menelusuri gua. Kami memilih untuk menelusuri Gua Macan. Gua macan terletak di 109024’BT - 07 041’LS, secara administratif, gua macan terletak di  Dusun Karang Gondang/Teba, Candirenggo, Ayah, Kebumen.


Penelusuran pertamaku ini membuat mataku seakan dibukakan kenyataan bahwa di dalam pegunungan karst tersimpan kekayaan alam berupa air! Air melimpah di kedalaman bumi itu semacam anomali dari permukaan pegunungan karst yang kering.

***

Kami beristirahat di basecamp gua petruk – bukan di gua macan. Erick masih kesal ke Hamzah karena lupa mengganti film kamera sakunya. Akibatnya, tidak ada cukup dokumentasi kegiatan. Aku, Adi dan Cimot hanya terkekeh melihat kelakuan mereka.
 
Tak lama Pak Turimin, pemilik basecamp, mempersilakan Kami menyantap pecel kangkung dan mendoan hangat. Dia kemudian menyalakan radio FM/AM miliknya. Lamat-lamat terdengar suara penyiar berita Radio Republik Indonesia: PT SG akan membangun pabrik semen di pegunungan karst Kendeng Utara - Pati. Arggggh! [.]


Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. "Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.

2 komentar:

  1. Si penjaga Ancor masih gemetar di ketinggian... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Si penjaga anchor meninggalkan tugasnya. Jalan-jalan keluar gua -_-

      Hapus

Kontak
Erwin
By Request
Nusantara