Caving di Gua Macan: Alasanku Mencintai Karst
Februari
2006, jam 15.00, sekre merah – HMPA Yudhistira masih sepi. Sekre merah itu
berada di komplek UKM. Gedung perkuliahan fakultas hukum – Universitas Jenderal
Soedirman berada di seberang komplek UKM, dibatasi oleh halaman parkir. Dari
sekre merah itu, Aku memandangi jendela gedung perkuliahan lantai dua. Dari
dalam jendela, Hamzah memberi kode: Ia masih kuliah beberapa saat lagi.
Aku dan
Topan yang pertama datang di sekre
itu. Berturut-turut datang-lah,
Erick – si jangkung dengan tas slempang
warna biru, lalu Cimot dan Adi dengan motor Vega hitamnya datang. Sambil
menunggu Hamzah dan beberapa kawan lainnya, Kami mengecek dan menyiapkan
peralatan.
Ponselku
berbunyi. Sms dari Abdi mengkabarkan, Ia sudah berada di wall
climbing yang berada di belakang perpustakaan Universitas Jenderal
Soedirman. Aku mengetik pesan singkat: tunggu, sedang packing.
***
Dua utas
tali kernmantel statis, masih-masing 20 meter disambung dengan simpul menjadi
satu. Aku dan Erick lalu memanjat tangga di samping wall climbing.
Sesampainya di top, Erick membuat simpul delapan dan menambatkan carabner
scew oval di main anchor. Tak lama, Ia kemudian membuat back up
anchor dengan memperhitungkan fall factor yang tepat. Untaian tali sudah
terpasang. Siap sebagai tempat berlatih SRT.
Masing-masing
dari Kami memakai dua utas webbing sebagai seat harness dan chest
harness. Dua utas webbing itu disatukan dengan mailon
rapide (MR). Di MR itu-lah berbagai peralatan lainnya
berpusat, yaitu: croll dan auto stop descender. Selain itu,
terpasang juga foot loop untuk pijakan kaki terhubung dengan jummar.
Ada juga cows tail atau tali dinamik yang disimpul dengan salah
satu talinya lebih pendek. Tali yang pendek digunakan terpasang carabiner sebagai
tambatan pengaman.
Hari itu
Kami berlatih naik dan turun dengan teknik SRT.
Secara khusus Kami berlatih berpindah sambungan tali, berlatih berpindah
lintasan tali dan melatih kecepatan. 5-10 menit adalah target waktu untuk
masih-masing dari Kami untuk naik maupun turun. Hari itu, Kami belum mampu
melampaui target tersebut.
***
Maret
2006, jam 07.00, Gua Macan-Gombong. Aku menambatkan jummar pada tali kermantle,
dan memindahkan carabiner di cows tail dari webbing pengaman ke loop
main anchor. Lalu, Aku mulai memasukkan tali kernmantle ke dalam
auto stop descender. Selepas itu, Aku membuat simpul untuk menguncinya,
mencegah tidak langsung merosot ketika -nanti- melepas cows tail.
Pelan-pelan
Aku mencoba membebani lintasan. Setelah dirasa cukup kuat, satu per satu
pengaman yang masih terikat dilepas. Diawali dengan jummar, cows tail,
kemudian terakhir simpul pengunci pada auto stop descender. Beban tubuh
kini berpindah sepenuhnya pada auto stop descender.
“Pfuuuuuih!!!”
teriakku sambil tetap memegang tuas auto stop descender.
Keringat
hampir sepenuhnya membasahi coverall
merah yang kupakai. Alih-alih karena gerah, keringat itu justru karena
kegugupan mendominasi perasaanku saat itu.
“Rick,
liatin talinya, friksi ga?!!!” teriakku pada Erick yang menjadi second
mand dan membantuku rigging.
“Aman
Win.” jawab Erick lugas.
“Oke,
Aku turun.”
ucapku sambil
mulai kuturuni lintasan slap menuju bibir tebing. Kemudian, mulai
kutekan tuas desecender itu.
Diiringi suara
deras aliran sungai bawah tanah di dasar gua, perjalanan dimulai. Kegelapan
abadi telah menungguku di bawah sana. Cahaya tidak mampu mencapai dasar gua.
Perlahan dan pasti tubuhku bergerak ke bawah. Sedikit ada hentakan, mulai
kuatur ritme turunku. Setiap detik terasa begitu lama. Ketakutan yang 'tak
beralasan mulai menyapaku.
Setelah
sekitar 20 meter melewati lintasan, auto stop descender mulai panas
karena bergesekan dengan tali. Setelah 20 meter juga, Aku menemui sambungan
tali. Dengan bantuan jumar, croll, dan foot loop, cepat
saja kulewati dua buah simpul penyambung itu.
Kutarik
nafas panjang, mencoba menghilangkan rasa ketakutanku. Aku melihat sekeliling,
gelap. Kutengok ke bawah, tidak tampak apa pun. Kemudian, kutengadahkan kepala
ke atas, hanya terlihat seutas tali. Seutas kernmantle
putih berdiameter 10.5 mm tempatku bergantung saat itu.
***
Disambut
dengan derasnya bunyi aliran sungai bawah gua ini, sejurus kemudian kakiku
akhirnya menapak dasar gua. Berturut-turun Hamzah, Erick, dan Cimot sampai di
dasar gua. Masing-masing dari Kami membutuhkan waktu 5-10 menit untuk menuruni
lintasan tali. Tidak percuma Kami berlatih selama hampir sebulan. Adi –sebagai
anggota termuda- ternyata tidak memiliki cukup keberanian, dan merelakan untuk menjaga
anchor.
Sejenak,
keempat dari Kami terdiam dalam gelap. Derasnya aliran sungai membuat suasana
mencekam. Kami kemudian menyalakan head
lamp dan boom
(generator
carbide). Alat ini berupa tabung yang dihubungkan dengan sebuah slang
ke helm. Terdiri dari dua bagian, tabung alas berguna untuk menampung air, yang
dilengkapi dengan regulator saluran gas dan lubang tempat pengisian air. Tabung
bawah digunakan untuk mengisi karbit.
Aliran
sungai itu ternyata berujung pada sebuah air terjun. Sebuah danau seluas ½
lapangan sepakbola terbentang. Dari ujung danau nampak sebuah lubang sempit.
Air mengalir lagi dari danau membentuk aliran sungai bawah tanah yang panjang.
Kami menelusuri aliran sungai itu.
Untukku
ini adalah pengalaman pertama menelusuri gua. Kami memilih untuk menelusuri Gua
Macan. Gua macan terletak di 109024’BT
- 07 041’LS,
secara administratif, gua macan terletak di Dusun Karang
Gondang/Teba, Candirenggo, Ayah, Kebumen.
Penelusuran
pertamaku ini membuat mataku seakan dibukakan kenyataan bahwa di dalam
pegunungan karst tersimpan kekayaan alam berupa air! Air melimpah di kedalaman
bumi itu semacam anomali dari permukaan pegunungan karst yang kering.
***
Kami
beristirahat di basecamp gua petruk – bukan di gua macan. Erick masih kesal ke
Hamzah karena lupa mengganti film kamera sakunya. Akibatnya, tidak ada cukup
dokumentasi kegiatan. Aku, Adi dan Cimot hanya terkekeh melihat kelakuan
mereka.

Tak lama
Pak Turimin, pemilik basecamp, mempersilakan Kami menyantap pecel
kangkung dan mendoan hangat. Dia kemudian menyalakan radio FM/AM miliknya.
Lamat-lamat terdengar suara penyiar berita Radio Republik Indonesia: PT SG akan
membangun pabrik semen di pegunungan karst Kendeng Utara - Pati. Arggggh! [.]
Si penjaga Ancor masih gemetar di ketinggian... :D
BalasHapusSi penjaga anchor meninggalkan tugasnya. Jalan-jalan keluar gua -_-
Hapus