Lereng Gunung Semeru sore itu. Suasana beranjak gelap. Duabelas orang sedang beristirahat sembari menyantap camilan. Beberapa anggota tim mulai memakai outer layer-nya karena suhu mulai turun drastis.
Dari situ, tim terpisah menjadi dua rombongan. Pesannya jelas, flying camp pertama di camping ground pertama Ranu Kumbolo. Pembawa tenda tim berjalan di rombongan pertama. Mereka akan bertugas mendirikan flying camp. Rombongan itu berjumlah tujuh orang. Rombongan lainnya berjumlah lima orang berada di belakang. Aku tergabung di rombongan kedua, karena -seperti biasa- Aku lebih suka berjalan di belakang.
Perjalanan kali ini tidak sesuai dengan rencana. Seharusnya, Kami sudah sampai di Ranu Kumbolo pada pukul 17.00. Namun, karena tidak disiplin dengan waktu, tim baru bergerak dari Ranu Pani pada pukul 15.00. Terlambat.
***
Jalur landai mendominasi dari Ranu Pani ke pos satu. Awal-awal berjalan, pendaki akan melewati ladang penduduk dan berganti dengan jalan makadam yang mulai tertutup ilalang. Normalnya, dari Ranu Pani ke pos satu membutuhkan waktu 1 - 2 jam. Dari pos satu menuju pos dua, kontur jalannya berupa tanah yang cukup nyaman ketimbang makadam. Menjadi tidak nyaman, karena pada saat musim kering, jalur itu berdebu. Gunakan penutup hidung. Dari pos sat ke pos dua butuh waktu sekitar 1 - 1,5 jam.
Perjalanan menuju pos tiga mulai memerlukan tenaga ekstra. Butuh waktu sekitar 1 - 1,5 jam menit untuk menuju pos tiga dari pos dua. Dari Pos tiga ke Pos empat, dapat ditempuh dengan waktu normal 1 - 2 jam. Jalur berdebu dan ada beberapa titik rawan longsor. Dari pos empat, pendaki bisa melihat Ranu Kumbolo. Tinggal mengikuti jalan setapak sekitar 15 menit dari pos empat, pendaki sudah sampai di tepi danau Ranu Kumbolo.
***
Aku yakin, tidak ada yang benar-benar tahu kapan bertemu situasi buruk di atas gunung. Bahkan ketika pendaki sudah mempersiapkan dengan sangat matang.
Sudah dua jam matahari turun dari puncak. Gelap berkuasa, yang terasa menenggelamkan. Dengan dibantu sinar head lamp, rombongan kedua berjalan pelan. Selangkah demi langkah. Melewati jalur selepas pos dua.
Seorang anggota rombongan tampak kepayahan. Langkahnya makin lelah, ditambah ransel yang menurutnya berat. Setiap napas bertambah berharga. Semangatnya meredup. Dia-pun menjatuhkan diri. Duduk dengan ransel masih di punggung. Lututnya gemetar lemas. Jantung berdenyar, berirama 'tak beraturan. Telapak tangan dan ujung kaki berkeringat dingin. Matanya mulai memejam.
Suara binatang malam jadi menakutkan, wingit, jauh tersamar. Gesekan daun-daun bersuara misteri, membentuk bayang-bayang mengagetkan. Kondisi tempat itu tidak ideal. Dari pengalamanku, mata memejam kemudian tidur dalam kondisi seperti itu hanya akan berujung kematian. Hipotermia penyebabnya.
Aku melakukan orientasi medan. Dari tanda-tanda medan, Aku tahu pos tiga tidak jauh lagi. Paling lama 30 menit berjalan dalam kondisi kepayahan. "Rombongan harus bergerak." batinku.
Dengan paksaan, akhirnya rombongan bergerak. 'Tak lama, rombongan sampai pos tiga. Aku mengeluarkan Trangia dan memasak air. Seorang teman lainnya kuminta menjaga anggota rombongan yang sudah kepayahan. Memastikan dia tidak tertidur.
Beberapa cangkir coklat hangat siap. Segera kubagikan kepada rombongan. Saat itu baru kusadari anggota rombongan yang kepayahan mulai meracau. Badannya bergetar. Menggigil. "Aku ditinggal saja." katanya.
Aku bergegas mengambil emergency blanket yang ada di dalam survival kit. Dengan emergency blanket dan coklat hangat, tubuhnya berangsur normal. Situasi membaik.
Sudah dua jam matahari turun dari puncak. Gelap berkuasa, yang terasa menenggelamkan. Dengan dibantu sinar head lamp, rombongan kedua berjalan pelan. Selangkah demi langkah. Melewati jalur selepas pos dua.
Seorang anggota rombongan tampak kepayahan. Langkahnya makin lelah, ditambah ransel yang menurutnya berat. Setiap napas bertambah berharga. Semangatnya meredup. Dia-pun menjatuhkan diri. Duduk dengan ransel masih di punggung. Lututnya gemetar lemas. Jantung berdenyar, berirama 'tak beraturan. Telapak tangan dan ujung kaki berkeringat dingin. Matanya mulai memejam.
Suara binatang malam jadi menakutkan, wingit, jauh tersamar. Gesekan daun-daun bersuara misteri, membentuk bayang-bayang mengagetkan. Kondisi tempat itu tidak ideal. Dari pengalamanku, mata memejam kemudian tidur dalam kondisi seperti itu hanya akan berujung kematian. Hipotermia penyebabnya.
Aku melakukan orientasi medan. Dari tanda-tanda medan, Aku tahu pos tiga tidak jauh lagi. Paling lama 30 menit berjalan dalam kondisi kepayahan. "Rombongan harus bergerak." batinku.
Dengan paksaan, akhirnya rombongan bergerak. 'Tak lama, rombongan sampai pos tiga. Aku mengeluarkan Trangia dan memasak air. Seorang teman lainnya kuminta menjaga anggota rombongan yang sudah kepayahan. Memastikan dia tidak tertidur.
Beberapa cangkir coklat hangat siap. Segera kubagikan kepada rombongan. Saat itu baru kusadari anggota rombongan yang kepayahan mulai meracau. Badannya bergetar. Menggigil. "Aku ditinggal saja." katanya.
Aku bergegas mengambil emergency blanket yang ada di dalam survival kit. Dengan emergency blanket dan coklat hangat, tubuhnya berangsur normal. Situasi membaik.
"Jadi, kita lanjutkan perjalanan jam berapa?" seorang kawan membuka percakapan.
"Sepertinya tidak mungkin. lihat saja, kondisinya sudah kepayahan." jawabku.
"Tapi target kita hari ini Ranu Kumbolo"
"Kalian masih kuat berjalan? Silakan lanjut, Aku tinggal menemaninya disini"
"Tapi rombongan ini tidak ada tenda"
"Ada fly sheet!" Potongku.
Hening.
Akhirnya rombongan memutuskan mendirikan bivak di pos tiga. Sebuah tarp tent dari selembar fly sheet 4x4 berdiri. Setelah makan malam, matras tidur digelar. Sebagian sudah masuk ke dalam tarp tent, dan mulai mengeluarkan sleeping bag.
"Tidak cukup menampung lima orang." batinku.
***
Memang masih ada selembar fly sheet lagi. Namun tidak cukup tempat untuk mendirikan tarp tent kedua. Ah, tidur beratap langit (lagi). Sontak ingatanku melayang ke pendakian Gunung Sumbing bersama Ade Nana. Saat itu Kami tersesat beberapa punggungan dari jalur. Tidak ada tempat ideal untuk mendirikan tenda, sehingga Kami memutuskan tidur beratap langit. Sebagai penghalau dingin, adalah selimut dari fly sheet.
Akhirnya, Aku dan seorang kawan tidur di luar tarp tent. setelah menggunakan sleeping bag, fly sheet Kami pergunakan sebagai selimut. Dingin-pun terusir. Kami mulai terlelap.
Sekira jam 02.00 dini hari, Aku terbangun. Aku merasa ada yang aneh. Kakiku basah. Padahal tidak hujan. Kabut dan embun-pun belum turun. Arrrrrrgh! Aku melupakan pelajaran dasar dalam IPA. Kondensasi!
Sekira jam 02.00 dini hari, Aku terbangun. Aku merasa ada yang aneh. Kakiku basah. Padahal tidak hujan. Kabut dan embun-pun belum turun. Arrrrrrgh! Aku melupakan pelajaran dasar dalam IPA. Kondensasi!
***
Ketika tidur di malam hari, badan manusia mengeluarkan uap air lewat hembusan nafas. Uap air yang dihembuskan selama semalam setara dengan satu liter air.
Fly sheet terbuat dari bahan water proof dan umumnya tidak breathable. Bahan itu menahan uap air dan bereaksi dengan suhu dingin di luar fly sheet. Akibatnya, uap air tidak bisa keluar dan membentuk tetes-tetes air yang akhirnya jatuh.
Fly sheet terbuat dari bahan water proof dan umumnya tidak breathable. Bahan itu menahan uap air dan bereaksi dengan suhu dingin di luar fly sheet. Akibatnya, uap air tidak bisa keluar dan membentuk tetes-tetes air yang akhirnya jatuh.
Sumber gambar: di sini
Menyimpan pakaian basah, peralatan basah, atau memasak di dalam tenda juga menambah kontribusi terjadinya kondensasi. Termasuk mendirikan tenda di daerah lembab. Tidak ada angin pada malam hari juga menjadi faktor penambah kondensasi.
***
Sisa malam kulewati dengan tidak nyaman. Sebagian badan basah oleh air hasil dari kondensasi. Tubuh bergetar. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Terjaga sepanjang sisa gelap. Hanya berharap, matahari segera terbit dan berjemur di bawah sinarnya [.]