Catatan

image

Tentang

Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. Petra adalah batu dan ichor artinya darah para dewa. Karena alasan itu-lah, blog ini bernama "Petrichor".

"Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.


Pendidikan
Unika Soegijapranata

Magister Lingkungan dan Perkotaan

Universitas Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum


Pekerjaan
2013 - sekarang, Perkumpulan HuMa Indonesia

Analisa Hukum dan Data

2008 - 2012, LBH Semarang

Pengabdi Bantuan Hukum


Keahlian
Analisa Hukum
Fasilitator
Pendaki Gunung
Blog

Terjaga Karena Kondensasi


Lereng Gunung Semeru sore itu. Suasana beranjak gelap. Duabelas orang sedang beristirahat sembari menyantap camilan. Beberapa anggota tim mulai memakai outer layer-nya karena suhu mulai turun drastis.

Dari situ, tim terpisah menjadi dua rombongan. Pesannya jelas, flying camp pertama di camping ground pertama Ranu Kumbolo. Pembawa tenda tim berjalan di rombongan pertama. Mereka akan bertugas mendirikan flying camp. Rombongan itu berjumlah tujuh orang. Rombongan lainnya berjumlah lima orang berada di belakang. Aku tergabung di rombongan kedua, karena -seperti biasa- Aku lebih suka berjalan di belakang.

Perjalanan kali ini tidak sesuai dengan rencana. Seharusnya, Kami sudah sampai di Ranu Kumbolo pada pukul 17.00. Namun, karena tidak disiplin dengan waktu, tim baru bergerak dari Ranu Pani pada pukul 15.00. Terlambat.

***

Jalur landai mendominasi dari Ranu Pani ke pos satu. Awal-awal berjalan, pendaki akan melewati ladang penduduk dan berganti dengan jalan makadam yang mulai tertutup ilalang. Normalnya, dari Ranu Pani ke pos satu membutuhkan waktu 1 - 2 jam. Dari pos satu menuju pos dua, kontur jalannya berupa tanah yang cukup nyaman ketimbang makadam. Menjadi tidak nyaman, karena pada saat musim kering, jalur itu berdebu. Gunakan penutup hidung. Dari pos sat ke pos dua butuh waktu sekitar 1 - 1,5 jam.

Perjalanan menuju pos tiga mulai memerlukan tenaga ekstra. Butuh waktu sekitar 1 - 1,5 jam menit untuk menuju pos tiga dari pos dua. Dari Pos tiga ke Pos empat, dapat ditempuh dengan waktu normal 1 - 2 jam. Jalur berdebu dan ada beberapa titik rawan longsor. Dari pos empat, pendaki bisa melihat Ranu Kumbolo. Tinggal mengikuti jalan setapak sekitar 15 menit dari pos empat, pendaki sudah sampai di tepi danau Ranu Kumbolo.

***

Aku yakin, tidak ada yang benar-benar tahu kapan bertemu situasi buruk di atas gunung. Bahkan ketika pendaki sudah mempersiapkan dengan sangat matang.

Sudah dua jam matahari turun dari puncak. Gelap berkuasa, yang terasa menenggelamkan. Dengan dibantu sinar head lamp, rombongan kedua berjalan pelan. Selangkah demi langkah. Melewati jalur selepas pos dua.

Seorang anggota rombongan tampak kepayahan. Langkahnya makin lelah, ditambah ransel yang menurutnya berat. Setiap napas bertambah berharga. Semangatnya meredup. Dia-pun menjatuhkan diri. Duduk dengan ransel masih di punggung. Lututnya gemetar lemas. Jantung berdenyar, berirama 'tak beraturan. Telapak tangan dan ujung kaki berkeringat dingin. Matanya mulai memejam.

Suara binatang malam jadi menakutkan, wingit, jauh tersamar. Gesekan daun-daun bersuara misteri, membentuk bayang-bayang mengagetkan. Kondisi tempat itu tidak ideal. Dari pengalamanku, mata memejam kemudian tidur dalam kondisi seperti itu hanya akan berujung kematian. Hipotermia penyebabnya.

Aku melakukan orientasi medan. Dari tanda-tanda medan, Aku tahu pos tiga tidak jauh lagi. Paling lama 30 menit berjalan dalam kondisi kepayahan. "Rombongan harus bergerak." batinku.

Dengan paksaan, akhirnya rombongan bergerak. 'Tak lama, rombongan sampai pos tiga. Aku mengeluarkan Trangia dan memasak air. Seorang teman lainnya kuminta menjaga anggota rombongan yang sudah kepayahan. Memastikan dia tidak tertidur.

Beberapa cangkir coklat hangat siap. Segera kubagikan kepada rombongan. Saat itu baru kusadari anggota rombongan yang kepayahan mulai meracau. Badannya bergetar. Menggigil. "Aku ditinggal saja." katanya.

Aku bergegas mengambil emergency blanket yang ada di dalam survival kit. Dengan emergency blanket dan coklat hangat, tubuhnya berangsur normal. Situasi membaik.

"Jadi, kita lanjutkan perjalanan jam berapa?" seorang kawan membuka percakapan.

"Sepertinya tidak mungkin. lihat saja, kondisinya sudah kepayahan." jawabku.

"Tapi target kita hari ini Ranu Kumbolo"

"Kalian masih kuat berjalan? Silakan lanjut, Aku tinggal menemaninya disini"

"Tapi rombongan ini tidak ada tenda"

"Ada fly sheet!" Potongku.

Hening.

Akhirnya rombongan memutuskan mendirikan bivak di pos tiga. Sebuah tarp tent dari selembar fly sheet 4x4 berdiri. Setelah makan malam, matras tidur digelar. Sebagian sudah masuk ke dalam tarp tent, dan mulai mengeluarkan sleeping bag.

"Tidak cukup menampung lima orang." batinku.

***

Memang masih ada selembar fly sheet lagi. Namun tidak cukup tempat untuk mendirikan tarp tent kedua. Ah, tidur beratap langit (lagi). Sontak ingatanku melayang ke pendakian Gunung Sumbing bersama Ade Nana. Saat itu Kami tersesat beberapa punggungan dari jalur. Tidak ada tempat ideal untuk mendirikan tenda, sehingga Kami memutuskan tidur beratap langit. Sebagai penghalau dingin, adalah selimut dari fly sheet

Akhirnya, Aku dan seorang kawan tidur di luar tarp tent. setelah menggunakan sleeping bag, fly sheet Kami pergunakan sebagai selimut. Dingin-pun terusir. Kami mulai terlelap.

Sekira jam 02.00 dini hari, Aku terbangun. Aku merasa ada yang aneh. Kakiku basah. Padahal tidak hujan. Kabut dan embun-pun belum turun. Arrrrrrgh! Aku melupakan pelajaran dasar dalam IPA. Kondensasi!

***

Ketika tidur di malam hari, badan manusia mengeluarkan uap air lewat hembusan nafas. Uap air yang dihembuskan selama semalam setara dengan satu liter air.

Fly sheet terbuat dari bahan water proof dan umumnya tidak breathable. Bahan itu menahan uap air dan bereaksi dengan suhu dingin di luar fly sheet. Akibatnya, uap air tidak bisa keluar dan membentuk tetes-tetes air yang akhirnya jatuh.

 Sumber gambar: di sini

Menyimpan pakaian basah, peralatan basah, atau memasak di dalam tenda juga menambah kontribusi terjadinya kondensasi. Termasuk mendirikan tenda di daerah lembab. Tidak ada angin pada malam hari juga menjadi faktor penambah kondensasi.

***

Sisa malam kulewati dengan tidak nyaman. Sebagian badan basah oleh air hasil dari kondensasi. Tubuh bergetar. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Terjaga sepanjang sisa gelap. Hanya berharap, matahari segera terbit dan berjemur di bawah sinarnya [.]


Tortilla di Ranu Kumbolo



"Pisang niki pinten Bu?", tanyaku kepada seorang Ibu di Pasar Tumpang, Malang.

"Rong puluh ewu Mas, murah to?", jawab Ibu itu pelan.

"Kabeh podo regone?"

"Njih Mas."

Aku-pun memilih satu sisir pisang raja yang paling besar. Tidak mungkin mendapatkannya dengan harga Rp 20.000,00 di Pasar Minggu, Jakarta. Sempat terlintas di benakku, bagaimana cara membawanya. Tapi pikiran itu kupendam saja. Paket yang menyertakan pisang
-sependek ingatanku- bukan menjadi beban bawaanku. Ternyata itu salah.

***

Aku dan sebelas kawan melakukan pendakian ke Gunung Semeru, via Ranu Pani, Jawa Timur. Tidak ada alasan khusus, hanya sekedar refreshing. Beberapa minggu menjelang hari H, tim sudah mempersiapkan segala peralatan yang akan dibawa, termasuk paket logistik. Tim juga mulai membagi tanggung jawab. Aku memilih bertanggung jawab terhadap logistik.

Aku memilih tanggung jawab itu karena menyukai kegiatan memasak di gunung. Malahan, menurutku memasak di atas gunung sama asyiknya dengan pendakian gunung itu sendiri. Sudah tidak sabar menunggu moment-moment itu.

Aku seolah ditantang menyiapkan makanan pada udara yang dingin, dengan peralatan seadanya dan dalam kondisi tubuh lelah. Puas rasanya jika bisa menghadirkan masakan bergizi buat diri sendiri dan kawan. Bukan hanya sekedar mie instan. Menurutku, sudah sepantasnya tubuh ini mendapatkan kenikmatan rasa setelah seharian dipaksa untuk bekerja keras mendaki.

Salah satu menu yang kubuat adalah tortilla isi daging ham dengan saus cabai. Ada juga pilihan lain: tortilla isi pisang dengan saus madu dan/atau coklat. Pemilihan menu ini berdasarkan beberapa pertimbangan: kandungan kalori dan nutrisi, kemudahan dalam mengolah, lama perjalanan, kepraktisan pengemasan dan karekteristik Gunung Semeru. 

Untuk kandungan kalori dan nutrisi, makanan yang dikonsumsi sebaiknya tidak sekedar mengenyangkan. Sebaiknya justru menghindari makanan dengan kadar karbohidrat tinggi seperti nasi. Tubuh manusia membutuhkan waktu enam jam untuk mengolah nasi menjadi energi. Pilih-lah makanan dengan kadar protein tinggi. Tortilla beserta isinya adalah pilihan yang tepat.

***

Tim mulai melakukan packing ulang di Ranu Pani. Semua peralatan dan logistik sudah masuk. Kecuali pisang. Loh kok bisa!? Pisang tidak masuk. Aku tersadar, ternyata salah satu anggota tim yang seharusnya membawa pisang itu batal ikut pada H-1. Mau tidak mau aku harus membawa pisang itu. Pisang itu sungguh merusak kadar penampilan renselku. Arrrrrrgh!!!


Pagi itu di Ranu Kumbolo. Maka dimulai-lah “pesta” itu. Setelah menikmati secangkir teh, kami memulai menyiapkan sarapan. Dua Trangia disiapkan sekaligus. 


Cara membuatnya sangat mudah dan cepat. Pertama, panggang daging ham. Kedua, atur daging ham beserta bumbu di atas tortilla. Atur juga pisang, meses dan madu di atas tortila. Lalu gulung atau lipat. Ketiga, panaskan margarine di atas Trangia. Keempat, panggang hingga kecoklatan dan matang.  

Menu pagi itu sudah siap. Secangkir coklat susu menjadi teman sarapan pagi itu [.]


Berghaus Freeflow® 30 untuk Mendaki Gunung Semeru



Sekarang aku hanya bisa melakukan perjalanan di alam bebas selama satu sampai tiga hari operasional saja. Dulu, seminggu atau lebih perjalanan masih memungkinkan. Karena itu, aku hanya membutuhkan ransel berukuran kecil.

Berbagai merk lokal sudah pernah kucoba. Dari Alpina, Tengger hingga Eiger. Tas-tas itu sangat nyaman. Beberapa masih kusimpan di kontainer plastik. Sepertinya saatnya mencoba ransel merk luar.


Pilihanku jatuk ke Berghaus Men's Adjustable Freeflow® 30 Rucksack. Ukuran 68 cm x 31 cm x 29 cm, cukup untuk kebutuhanku. Sementara, beratnya adalah 1.40 kg, belum masuk kategori ultralight. Namun masih cukup ringan, menurutku.  Aku memilih warna merah, agar matching dengan slayer dan base layer yang kumiliki. Etdaaaaaah!

 
Nama ransel ini sudah menjelaskan segalanya. Berturut-turut, ransel ini dibuat oleh pemegang merk yaitu Berghaus. Men’s, kalau mau tetap dijelaskan, artinya pria. Adjustable, artinya tas ini bisa diatur torso-nya. Mulai dari torso yang panjang hingga yang pendek. Pilihan ukuran torso-nya terdiri dari XL, L, M, S dan XS. XS adalah ukuran torso-ku.

Lalu sesuai dengan namanya Freeflow®, sistem di bagian belakang tas ini benar-benar “free flow”. Sirkulasi aliran udara di punggung sangat bagus. Membuat punggung tidak basah oleh keringat. Tetap kering dan nyaman. Terakhir, 30 itu merujuk pada kapasitasnya, 30 liter.



Ransel ini langsung saya coba untuk mendaki di Gunung Sundoro dan Gunung Semeru. Percobaan pertama di Gunung Sundoro tidak cukup mengukur kemampuan ransel ini., karena peralatan pendakian kala itu dibawa oleh adek-adek angkatan yang unyu-unyu.

Ransel ini baru teruji pada pendakian kedua di Gunung Semeru. Pendakian Gunung Semeru membutuhkan waktu normal tiga hari dua malam. Ransel satu compartment ini berkapasitas utama 30 liter, sehingga cukup untuk menampung semua peralatan dan logistik selama waktu pendakian itu.


Di bagian samping terdapat mesh pocket yang memudahkan pengguna untuk menyimpan barang-barang yang sering copot pakai selama perjalanan. Di mesh pocket, saya menyimpan trekking pole's.

Pada bagian tutup ransel, seperti umumnya ransel lainnya, terdapat ruang penyimpanan. Dan di bagian dalamnya terdapat hidden pocket yang berguna untuk menyimpan uang, kartu identitas, ponsel dan benda berharga  lainnya.



Aku cukup berkesan dengan ransel ini selama pendakian di Gunung Semeru. Ukurannya cukup pas untuk menampung peralatan dan logistik (termasuk air lima liter) selama mendaki tiga hari dua malam. Ransel ini terasa nyaman ketika berada di punggung. Base layer yang kupakai tidak basah sama sekali oleh keringat karena teknologi free flow. Ini penting terutama ketika pendakian di gunung-gunung yang bersuhu relatif dingin, seperti Semeru.


Siapa bilang ransel ukuran 30 tidak cukup memuat peralatan dan logistik untuk mendaki Gunung Semeru? [.]



__________
Tulisan ini bukan posting berbayar.

Kontak
Erwin
By Request
Nusantara