Konon, rasa makanan lebih lezat dan nikmat ketika disajikan dengan bumbu fresh. Bumbu yang baru saja dihaluskan atau digerus. Lebih lezat dan nikmat dibandingkan menggunakan bumbu instan.
Konon,
akan jauh lebih lezat dan nikmat lagi jika bumbu yang dihaluskan berasal dari cobek dan ulekan batu. Lebih lezat dan nikmat dibandingkan dengan cobek dari kayu atau semen.
Mungkin
karena itu-lah, penjaja makanan -baik
penjaja keliling maupun warung- memakai cobek
dan ulekan batu. Mereka memilih menghaluskan
bumbu secara langsung dalam kondisi fresh
dibanding menggunakan blender atau gilingan.
Salah
satu makanan populer yang tidak bisa lepas dari cobek dan ulekan adalah rujak buah. Di beberapa tempat disebut
dengan lotis. Gabungan dari berbagai
macam buah-buah segar yang dipotong sesuai selera. Buah-buah itu dimakan dengan
sambal gula pedas khas rujak buah.
***
“Pear?”
“Apel?”
“Nata de coco?”
“Puding untuk menu puncak?” usul Kiki.
“Maistream! Tiap naik gunung
pasti makanan puncaknya itu. Bosan ah, ganti menu lainnya.” Jawab Siska.
“Bubur kacang hijau?” usul Adi.
“Enak siy, tapi santannya itu bikin
ga seger.”
“Rujak buah?” jawabku.
Akhirnya menu puncak disepakati. Menu puncak kali ini adalah rujak buah. Peralatan untuk membuat rujak buah tentunya cobek dan ulekan. Karena percaya dengan omongan orang mengenai kelezatan bumbu yang dibuat dari cobek dan ulekan batu. Selain itu karena ingin iseng ke junior, Maka, cobek dan ulekan menjadi salah satu peralatan yang akan dibawa. Cobek dan ulekan batu tentunya.
Tabel
menu-pun dan perlengkapan tersusun. Langsung
di-share ke group WhatsApp.
“Kang, ini yakin mau bikin rujak
buah?”
“Kang, ini kenapa ga pakai bumbu
instan aja?"
“Kang cobeknya pakai cobek kayu
aja ya?”
Hening.
Tidak ada respon dari group WhatsApp
atas pertanyaan itu.
“Kang, yang akan bawa cobek dan
ulekan batu siapa?” tanya
Rio.
“Kamu.”
“Kok Aku kang?” Rio mencoba protes.
“Ngerujak sambil minum teh yang
diseduh di poci kayanya enak ya?” sahut Kiki.
Hening.
Tidak ada respon dari group WhatsApp.
Takut kebagian jatah membawa poci dan cangkir tanah liat.
***
Akhirnya rujak buah itu tidak menjadi menu puncak. Karena berbagai pertimbangan, rujak buah akan dibuat di flying camp, sesaat setelah kami menapaki puncak gunung.
Siang
itu selepas muncak, kami berbagi kerja. Kiki mencuci buah dan mengirisnya
kecil-kecil. Buah yang dibawa adalah buah-buah yang relatif keras sehingga
tidak hancur ketika di-packing.
Mangga muda, kedondong muda, nanas muda dan ketimun jepang.
Entah
kenapa beberapa pendakian terakhir, kami suka dengan buah-buahan. Cemilan siang
saat mendaki kemaren-pun adalah pisang
segar. Menu selepas makan siang hari ini ada rujak buah. Dan ada kurma untuk
cemilan saat turun nanti.
Siska
yang sedang memasak menu makan siang, mendaulatkan Aku untuk membuat bumbu
rujak. Dengan tersenyum, Aku meminta Rio untuk mengeluarkan cobek dan ulekan batu
yang ada di tasnya. Dibalas senyum kecut, sekecut mangga muda yang diiris
Kiki, Rio mengeluarkan cobek
beserta ulekan batunya.
Tidak
membutuhkan waktu banyak. Gula jawa, cabai merah, garam, dan satu potong
kedondong selesai dihaluskan. Bumbu rujak buah selesai. Pun, dengan irisan aneka buah. Kami mulai menyantap irisan buah
itu, sembari mencocolnya ke bumbu rujak. Langsung dari cobek batu.
Flying camp kami tidak jauh dari puncak. Banyak pendaki yang melewati tenda kami. Kami-pun selalu mengajak setiap pendaki yang lewat untuk mencicipi rujak buah ala Gunung Sundoro ini. Sebagian menolak, sebagian mampir ke tenda kami. Komentar mereka nyaris seragam: niat banget bawa cobek batu. Dan Rio akan menjawab dengan kesal:
“AKU YANG BAWA COBEK BATU ITU!” [.]