Catatan

image

Tentang

Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. Petra adalah batu dan ichor artinya darah para dewa. Karena alasan itu-lah, blog ini bernama "Petrichor".

"Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.


Pendidikan
Unika Soegijapranata

Magister Lingkungan dan Perkotaan

Universitas Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum


Pekerjaan
2013 - sekarang, Perkumpulan HuMa Indonesia

Analisa Hukum dan Data

2008 - 2012, LBH Semarang

Pengabdi Bantuan Hukum


Keahlian
Analisa Hukum
Fasilitator
Pendaki Gunung
Blog

Rujak Buah ala Gunung Sundoro



Konon, rasa makanan lebih lezat dan nikmat ketika disajikan dengan bumbu fresh. Bumbu yang baru saja dihaluskan atau digerus. Lebih lezat dan nikmat dibandingkan menggunakan bumbu instan.

Konon, akan jauh lebih lezat dan nikmat lagi jika bumbu yang dihaluskan berasal dari cobek dan ulekan batu. Lebih lezat dan nikmat dibandingkan dengan cobek dari kayu atau semen.

Mungkin karena itu-lah, penjaja makanan -baik penjaja keliling maupun warung- memakai cobek dan ulekan batu. Mereka memilih menghaluskan bumbu secara langsung dalam kondisi fresh dibanding menggunakan blender atau gilingan.

Salah satu makanan populer yang tidak bisa lepas dari cobek dan ulekan  adalah rujak buah. Di beberapa tempat disebut dengan lotis. Gabungan dari berbagai macam buah-buah segar yang dipotong sesuai selera. Buah-buah itu dimakan dengan sambal gula pedas khas rujak buah.

***

“Coklat?”

“Pear?”

“Apel?”

“Nata de coco?”

“Puding untuk menu puncak?” usul Kiki.

“Maistream! Tiap naik gunung pasti makanan puncaknya itu. Bosan ah, ganti menu lainnya.” Jawab Siska.

“Bubur kacang hijau?” usul Adi.

“Enak siy, tapi santannya itu bikin ga seger.”

“Rujak buah?” jawabku.


Akhirnya menu puncak disepakati. Menu puncak kali ini adalah rujak buah. Peralatan untuk membuat rujak buah tentunya cobek dan ulekan. Karena percaya dengan omongan orang mengenai kelezatan bumbu yang dibuat dari cobek dan ulekan batu. Selain itu karena ingin iseng ke junior, Maka, cobek dan ulekan menjadi salah satu peralatan yang akan dibawa. Cobek dan ulekan batu tentunya.

Tabel menu-pun dan perlengkapan tersusun. Langsung di-share ke group WhatsApp.

“Kang, ini yakin mau bikin rujak buah?”

“Kang, ini kenapa ga pakai bumbu instan aja?"

“Kang cobeknya pakai cobek kayu aja ya?”

Hening. Tidak ada respon dari group WhatsApp atas pertanyaan itu.

“Kang, yang akan bawa cobek dan ulekan batu siapa?” tanya Rio.

“Kamu.”

“Kok Aku kang?” Rio mencoba protes.

“Ngerujak sambil minum teh yang diseduh di poci kayanya enak ya?” sahut Kiki.

Hening. Tidak ada respon dari group WhatsApp. Takut kebagian jatah membawa poci dan cangkir tanah liat.

***

Akhirnya rujak buah itu tidak menjadi menu puncak. Karena berbagai pertimbangan, rujak buah akan dibuat di flying camp, sesaat setelah kami menapaki puncak gunung.

Siang itu selepas muncak, kami berbagi kerja. Kiki mencuci buah dan mengirisnya kecil-kecil. Buah yang dibawa adalah buah-buah yang relatif keras sehingga tidak hancur ketika di-packing. Mangga muda, kedondong muda, nanas muda dan ketimun jepang.

Entah kenapa beberapa pendakian terakhir, kami suka dengan buah-buahan. Cemilan siang saat mendaki kemaren-pun adalah pisang segar. Menu selepas makan siang hari ini ada rujak buah. Dan ada kurma untuk cemilan saat turun nanti.

Siska yang sedang memasak menu makan siang, mendaulatkan Aku untuk membuat bumbu rujak. Dengan tersenyum, Aku meminta Rio untuk mengeluarkan cobek dan ulekan batu yang ada di tasnya. Dibalas senyum kecut, sekecut mangga muda yang diiris Kiki, Rio mengeluarkan cobek beserta ulekan batunya.

Tidak membutuhkan waktu banyak. Gula jawa, cabai merah, garam, dan satu potong kedondong selesai dihaluskan. Bumbu rujak buah selesai. Pun, dengan irisan aneka buah. Kami mulai menyantap irisan buah itu, sembari mencocolnya ke bumbu rujak. Langsung dari cobek batu.


Flying camp kami tidak jauh dari puncak. Banyak pendaki yang melewati tenda kami. Kami-pun selalu mengajak setiap pendaki yang lewat untuk mencicipi rujak buah ala Gunung Sundoro ini. Sebagian menolak, sebagian mampir ke tenda kami. Komentar mereka nyaris seragam: niat banget bawa cobek batu. Dan Rio akan menjawab dengan kesal:

“AKU YANG BAWA COBEK BATU ITU!” [.]


Menu Bule di Lereng Gunung Sundoro


“Kang, libur kecepit besok, jadi naik gunung?” Kiki mengirim pesan melalui aplikasi whatsApp. saat itu, Aku sedang istirahat siang di kantor.

“Jadi dong. Kemping ceria kan?” jawabku.

“Bikin itin Kang. Sekalian menu dan pembagian logistik.” lanjut Kiki.

“Oke, nanti malam ya. Kalau sudah santai.”

***

Salah satu keseruan mendaki gunung adalah mempersiapkan menu. Perlengkapan boleh ultralight, namun tidak dengan menunya. Perut ini rasanya belum cocok dijejali dengan oat.

Begini-lah kalau tiga orang yang doyan kemping ceria di gunung berkumpul. Hasil-nya kemping ceria di lereng gunung yang memiliki ketinggian 3.136 mdpl. Anggota tim lainnya harus mengikuti. Otoriter.

Pendakian ini kami mencoba menu: black pepper sausage with mashed potato and vegetable sauté.

“Menu bule.” komentar Siska.

“Makanan apa itu?” protes Adi.

"Kentang Neng, kentang karo sosis." jawab Kiki mulai dengan logat Bekasi campur Banyumasnya. Dia kerap memanggil Adi dengan Oneng. Semena-mena.

“Sudah-lah Di, perutmu kan tong sampah. Pasti masuk kan?” jawabku sembari tertawa.

***

Flying camp kami berada di sebuah tempat sebelum pos empat. Dua tenda saling berhadapan. Tidak ada pendaki lain yang mendirikan tenda di sekitar kami.

Semakin malam udara semakin dingin. Cuaca cerah. Langit penuh dengan taburan bintang. Sebagian kawan mulai larut dengan beragam aktifitas. Ada yang mengelar tripod untuk memotret milky way. Ada yang di luar tenda, ngopi sembari memandangi Gunung Sumbing. Sementara, sebagian mulai bersiap-siap memasak makan malam.

Di vestibule masing-masing tenda sudah tergelar matras. Di atas matras sudah tersedia: tepung kentang, sosis, buncis, wortel, jamur kancing, paprika merah, paprika hijau, bawang bombay dan saus lada hitam. Siska meyiapkan bumbu dan mengiris sayuran. Aku dan Kiki menyiapkan sosis. Sementara Adi melanjutkan memasak air di trangia.

Setelah air matang, trangia dipersiapkan untuk memasak. Adi dan Kiki saling membantu menggoreng sosis. Setelah semua sosis selesai di goreng, dua trangia dipersiapkan bersamaan. Satu untuk membuat saus lada hitam. Sementara trangia lainnya untuk membuat tumis sayuran. Sembari dua kompor memasak, mashed potato dibuat.


Kami menggunakan tepung kentang untuk mashed potato. Jadi, hanya menyeduhnya dengan air panas. Idealnya tepung kentang itu dicampur sedikit susu, garam dan potongan daun bawang. Tapi, Aku lupa.

Untuk makan malam ini, masing-masing kami mendapat jatah, tiga sendok besar mashed potatoes, dua buah sosis goreng dan saus lada hitam serta satu porsi tumis sayur. Menurutku, menu ini merupakan menu yang cocok untuk di gunung. Selain lezat, tentu saja kaya protein. Cocok sebagai sumber energi untuk summit attact esok.

***  

Secangkir teh hangat menjadi penutup makan malam. Rasanya asyik mendaki gunung seperti ini. Merasakan kemping ceria di alam, makan sampai kenyang. Tanpa takut gemuk karena akan terbakar juga kalorinya. Keseruan ini bisa terlaksana asalkan mempunyai kawan yang asyik dan tentu saja sama-sama suka masak dan makan [.]


Gunung Sundoro, Karena Setiap Lerengnya adalah Puncak




Desa Kledung, Wonosobo dini hari itu. Kabut sudah pekat saat tim menginjakkan kaki di sana. Tim terlambat berkumpul karena sebagian anggotanya kehabisan waktu di lintasan kereta Jakarta-Purwokerto. Untung-nya, anggota tim dari Purwokerto sabar menanti. Pun, dengan anggota tim dari Magelang yang sudah di Kledung. Kami akan mendaki Gunung Sundoro.

***

Alkisah, hidup-lah sepasang suami istri. Mereka adalah petani yang hidup selaras dengan ritme alam. Berbanding terbalik dengan kedua anak laki-lakinya. Kedua anaknya selalu bertengkar. Suatu ketika kesabaran sang ayah habis. Anak kedua terkena pukulan. Akibatnya bibirnya robek (sumbing).

Kisah itu diabadikan menjadi nama gunung: Si (ndoro) dan si (sumbing). Ndoro adalah julukan kepada seseorang karena sikap santun, bijaksana dan selalu melindungi.

Kisah versi lainnya, Gunung Sumbing dan Sundoro adalah pasangan suami istri. Gunung Sumbing adalah sosok laki-laki yang merupakan suami. Gunung Sundoro adalah sosok perempuan yang merupakan istri.

***

“Kang harga ojeknya Rp 15.000,00.” kata Adi.

“Tawar lagi Kang, lagipula kita berdelapan. Masa ga dapet potongan.” jawab Aby yang menunggu di base camp.

Saat ini base camp untuk para pendaki berada di Balai  Desa. Beda dengan kunjungan terakhir ke gunung ini, base camp masih berada di rumah penduduk. Pembeda lainnya, ada ojek motor dengan tarif Rp. 15.000,00. Tim kami beruntung bisa mendapat harga Rp 10.000,00. Ojek ini bisa mencapai batas peladangan. Menghemat satu hingga dua jam perjalanan trekking.

Jalur Kledung tidak memiliki sumber air. Umumnya pendaki akan membuat flying camp di pos tiga. Pos tiga bisa dicapai dengan waktu tempuh empat hingga lima jam.

Dari pos tiga hingga puncak masih membutuhkan waktu empat hingga lima jam lagi. Selepas pos tiga, susah ditemui shelter luas untuk membuat flying camp. Hanya ada shelter-shelter yang cukup untuk menampung satu hingga dua tenda. 

***

Pendakian Gunung Sundoro kali ini terasa kurang. Kawan seangkatan yang biasa mendaki bersama ‘tak ikut. Aku masih ingat, kala mendaki malam dengan Ranto dan Elva. Atau terkekeh melihat Ipung behenti di jalur. Mengira sekelebat plastik berkibar adalah penampakan. Atau kala mendaki via jalur Tambi bersama Fietta dan Ronald. Atau kala tersesat hingga beberapa punggungan bersama Topan.

Namun, kala ini masih ada beberapa kawan: Kiki, Siska, Deni dan Adi. Mereka tampak lebih lambat saat mendaki. Umur tidak bisa disembunyikan lagi. Dengkul dan engkel tak sekuat dulu.

Berbanding terbalik, ada Peche, Rio dan Sigit yang terlihat bertenaga. Selain mereka, Aby –seorang kawan yang bertemu di Gunung Pangrango- turut bergabung.

Pendakian, terutama bagiku, selalu penuh makna. Semacam memperbaharui janji pada kehidupan. Setiap pos pendakian adalah target awal. Tanjakan adalah ikhtiar mencapai target. Membuat target baru dan berusaha menggapainya.

Aku lebih suka berjalan di belakang. Berjalan sendiri. Melakukan dialog dengan batin. Refleksi apa yang sudah dilakukan. Apa target hidup selanjutnya.

Sesekali berhenti. Melatakkan ransel. Sejenak melepas lelah. Mengatur nafas. Lalu, melanjutkan perjalanan. Menemui kawan-kawan yang pasti menunggu di tiap pos. 

Ya, kawan-kawanku sepertinya sudah paham. Aku selalu ingin sendiri.  Jadi-lah kami sebuah tim yang berjalan lambat. Pelan tapi pasti. Lima menit jalan, setengah jam istirahat. Satu pegangan kita. Istirahat makan siang di pos tiga.

“Wooooi, lama banget jalannya.” kata Siska yang sudah menunggu di pos tiga.

“Menikmati pemandangan, lagian tadinya kukira sampai sini teh hangat sudah jadi.” jawab Adi.

“Enak aja!” sungut kiki.

Selepas pos tiga, kami memutuskan melanjutkan perjalanan sampai batas waktu 18.00. Jadi-lah flying camp di sebuah tempat sebelum pos empat.

 ***

“Kang Adi muncak?” tanyaku pagi itu sembari menikmati secangkir teh.

“Puncak bukanlah segalanya. Di manapun, bisa menjadi puncak.”, kata Adi. 

Terdengar klise. Tapi mau bagimana lagi. Kang Adi kan pendaki senior bro!

“Kiki?” lanjutku.

“hmmmmm...., sini aja kang. Cuma mau ganti DP path kok.” Kiki menjawab singkat.

 
***

Pagi itu, sebagian dari kami memutuskan untuk tinggal di flying camp. Tidak melanjutkan hingga puncak gunung. Bagi mereka, semua lereng bisa saja menjadi puncak. Sementara sebagian lainnya melanjutkan hingga puncak, mengibarkan panji organisasi.

Sundoro adalah klangenan.

Salam, suatu saat kami akan kembali (lagi) [.]

Kontak
Erwin
By Request
Nusantara