Minggu, 24 Mei 2015

Rujak Buah ala Gunung Sundoro


Konon, rasa makanan lebih lezat dan nikmat ketika disajikan dengan bumbu fresh. Bumbu yang baru saja dihaluskan atau digerus. Lebih lezat dan nikmat dibandingkan menggunakan bumbu instan.

Konon, akan jauh lebih lezat dan nikmat lagi jika bumbu yang dihaluskan berasal dari cobek dan ulekan batu. Lebih lezat dan nikmat dibandingkan dengan cobek dari kayu atau semen.

Mungkin karena itu-lah, penjaja makanan -baik penjaja keliling maupun warung- memakai cobek dan ulekan batu. Mereka memilih menghaluskan bumbu secara langsung dalam kondisi fresh dibanding menggunakan blender atau gilingan.

Salah satu makanan populer yang tidak bisa lepas dari cobek dan ulekan  adalah rujak buah. Di beberapa tempat disebut dengan lotis. Gabungan dari berbagai macam buah-buah segar yang dipotong sesuai selera. Buah-buah itu dimakan dengan sambal gula pedas khas rujak buah.

***

“Coklat?”

“Pear?”

“Apel?”

“Nata de coco?”

“Puding untuk menu puncak?” usul Kiki.

“Maistream! Tiap naik gunung pasti makanan puncaknya itu. Bosan ah, ganti menu lainnya.” Jawab Siska.

“Bubur kacang hijau?” usul Adi.

“Enak siy, tapi santannya itu bikin ga seger.”

“Rujak buah?” jawabku.


Akhirnya menu puncak disepakati. Menu puncak kali ini adalah rujak buah. Peralatan untuk membuat rujak buah tentunya cobek dan ulekan. Karena percaya dengan omongan orang mengenai kelezatan bumbu yang dibuat dari cobek dan ulekan batu. Selain itu karena ingin iseng ke junior, Maka, cobek dan ulekan menjadi salah satu peralatan yang akan dibawa. Cobek dan ulekan batu tentunya.

Tabel menu-pun dan perlengkapan tersusun. Langsung di-share ke group WhatsApp.

“Kang, ini yakin mau bikin rujak buah?”

“Kang, ini kenapa ga pakai bumbu instan aja?"

“Kang cobeknya pakai cobek kayu aja ya?”

Hening. Tidak ada respon dari group WhatsApp atas pertanyaan itu.

“Kang, yang akan bawa cobek dan ulekan batu siapa?” tanya Rio.

“Kamu.”

“Kok Aku kang?” Rio mencoba protes.

“Ngerujak sambil minum teh yang diseduh di poci kayanya enak ya?” sahut Kiki.

Hening. Tidak ada respon dari group WhatsApp. Takut kebagian jatah membawa poci dan cangkir tanah liat.

***

Akhirnya rujak buah itu tidak menjadi menu puncak. Karena berbagai pertimbangan, rujak buah akan dibuat di flying camp, sesaat setelah kami menapaki puncak gunung.

Siang itu selepas muncak, kami berbagi kerja. Kiki mencuci buah dan mengirisnya kecil-kecil. Buah yang dibawa adalah buah-buah yang relatif keras sehingga tidak hancur ketika di-packing. Mangga muda, kedondong muda, nanas muda dan ketimun jepang.

Entah kenapa beberapa pendakian terakhir, kami suka dengan buah-buahan. Cemilan siang saat mendaki kemaren-pun adalah pisang segar. Menu selepas makan siang hari ini ada rujak buah. Dan ada kurma untuk cemilan saat turun nanti.

Siska yang sedang memasak menu makan siang, mendaulatkan Aku untuk membuat bumbu rujak. Dengan tersenyum, Aku meminta Rio untuk mengeluarkan cobek dan ulekan batu yang ada di tasnya. Dibalas senyum kecut, sekecut mangga muda yang diiris Kiki, Rio mengeluarkan cobek beserta ulekan batunya.

Tidak membutuhkan waktu banyak. Gula jawa, cabai merah, garam, dan satu potong kedondong selesai dihaluskan. Bumbu rujak buah selesai. Pun, dengan irisan aneka buah. Kami mulai menyantap irisan buah itu, sembari mencocolnya ke bumbu rujak. Langsung dari cobek batu.


Flying camp kami tidak jauh dari puncak. Banyak pendaki yang melewati tenda kami. Kami-pun selalu mengajak setiap pendaki yang lewat untuk mencicipi rujak buah ala Gunung Sundoro ini. Sebagian menolak, sebagian mampir ke tenda kami. Komentar mereka nyaris seragam: niat banget bawa cobek batu. Dan Rio akan menjawab dengan kesal:

“AKU YANG BAWA COBEK BATU ITU!” [.]


Aku mencintai wangi tanah basah selepas hujan, bumi dan isinya. Dalam bahasa Yunani, wangi tanah basah itu adalah Petrichor. "Petrichor" ditulis oleh Erwin Dwi Kristianto - atau panggil saja "wien". Blog ini berisi catatan perjalanan dan kontemplasi hasil dari perjalanan itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Kontak
Erwin
By Request
Nusantara