Gunung Sundoro, Karena Setiap Lerengnya adalah Puncak
Desa Kledung, Wonosobo dini hari itu. Kabut sudah pekat saat tim menginjakkan kaki di sana. Tim terlambat berkumpul karena sebagian anggotanya kehabisan waktu di lintasan kereta Jakarta-Purwokerto. Untung-nya, anggota tim dari Purwokerto sabar menanti. Pun, dengan anggota tim dari Magelang yang sudah di Kledung. Kami akan mendaki Gunung Sundoro.
***
Alkisah, hidup-lah sepasang suami istri. Mereka adalah petani yang hidup selaras dengan ritme alam. Berbanding terbalik dengan kedua anak laki-lakinya. Kedua anaknya selalu bertengkar. Suatu ketika kesabaran sang ayah habis. Anak kedua terkena pukulan. Akibatnya bibirnya robek (sumbing).
Kisah itu diabadikan menjadi nama gunung: Si (ndoro) dan si (sumbing). Ndoro adalah julukan kepada seseorang karena sikap santun, bijaksana dan selalu melindungi.
Kisah versi lainnya, Gunung Sumbing dan Sundoro adalah pasangan suami istri. Gunung Sumbing adalah sosok laki-laki yang merupakan suami. Gunung Sundoro adalah sosok perempuan yang merupakan istri.
***
“Kang harga ojeknya Rp 15.000,00.” kata Adi.
“Tawar lagi Kang, lagipula kita berdelapan. Masa ga dapet potongan.” jawab Aby yang menunggu di base camp.
Saat ini base camp untuk para pendaki berada di Balai Desa. Beda dengan kunjungan terakhir ke gunung ini, base camp masih berada di rumah penduduk. Pembeda lainnya, ada ojek motor dengan tarif Rp. 15.000,00. Tim kami beruntung bisa mendapat harga Rp 10.000,00. Ojek ini bisa mencapai batas peladangan. Menghemat satu hingga dua jam perjalanan trekking.
Jalur Kledung tidak memiliki sumber air. Umumnya pendaki akan membuat flying camp di pos tiga. Pos tiga bisa dicapai dengan waktu tempuh empat hingga lima jam.
Dari pos tiga hingga puncak masih membutuhkan waktu empat hingga lima jam lagi. Selepas pos tiga, susah ditemui shelter luas untuk membuat flying camp. Hanya ada shelter-shelter yang cukup untuk menampung satu hingga dua tenda.
***
Pendakian Gunung Sundoro kali ini terasa kurang. Kawan seangkatan yang biasa mendaki bersama ‘tak ikut. Aku masih ingat, kala mendaki malam dengan Ranto dan Elva. Atau terkekeh melihat Ipung behenti di jalur. Mengira sekelebat plastik berkibar adalah penampakan. Atau kala mendaki via jalur Tambi bersama Fietta dan Ronald. Atau kala tersesat hingga beberapa punggungan bersama Topan.
Namun, kala ini masih ada beberapa kawan: Kiki, Siska, Deni dan Adi. Mereka tampak lebih lambat saat mendaki. Umur tidak bisa disembunyikan lagi. Dengkul dan engkel tak sekuat dulu.
Berbanding terbalik, ada Peche, Rio dan Sigit yang terlihat bertenaga. Selain mereka, Aby –seorang kawan yang bertemu di Gunung Pangrango- turut bergabung.
Pendakian, terutama bagiku, selalu penuh makna. Semacam memperbaharui janji pada kehidupan. Setiap pos pendakian adalah target awal. Tanjakan adalah ikhtiar mencapai target. Membuat target baru dan berusaha menggapainya.
Aku lebih suka berjalan di belakang. Berjalan sendiri. Melakukan dialog dengan batin. Refleksi apa yang sudah dilakukan. Apa target hidup selanjutnya.
Sesekali berhenti. Melatakkan ransel. Sejenak melepas lelah. Mengatur nafas. Lalu, melanjutkan perjalanan. Menemui kawan-kawan yang pasti menunggu di tiap pos.
Ya, kawan-kawanku sepertinya sudah paham. Aku selalu ingin sendiri. Jadi-lah kami sebuah tim yang berjalan lambat. Pelan tapi pasti. Lima menit jalan, setengah jam istirahat. Satu pegangan kita. Istirahat makan siang di pos tiga.
“Wooooi, lama banget jalannya.” kata Siska yang sudah menunggu di pos tiga.
“Menikmati pemandangan, lagian tadinya kukira sampai sini teh hangat sudah jadi.” jawab Adi.
“Enak aja!” sungut kiki.
Selepas pos tiga, kami memutuskan melanjutkan perjalanan sampai batas waktu 18.00. Jadi-lah flying camp di sebuah tempat sebelum pos empat.
***
“Kang Adi muncak?” tanyaku pagi itu sembari menikmati secangkir teh.
“Puncak bukanlah segalanya. Di manapun, bisa menjadi puncak.”, kata Adi.
Terdengar klise. Tapi mau bagimana lagi. Kang Adi kan pendaki senior bro!
“Kiki?” lanjutku.
“hmmmmm...., sini aja kang. Cuma mau ganti DP path kok.” Kiki menjawab singkat.
***
Pagi itu, sebagian dari kami memutuskan untuk tinggal di flying camp. Tidak melanjutkan hingga puncak gunung. Bagi mereka, semua lereng bisa saja menjadi puncak. Sementara sebagian lainnya melanjutkan hingga puncak, mengibarkan panji organisasi.
Sundoro adalah klangenan.
Salam, suatu saat kami akan kembali (lagi) [.]
kiki sebenernya mau muncak tapi malah ikut sama partnernya jaga tenda...
BalasHapusmakasih kiki
cieee, yang ceritanya kompak.
Hapus